Peringkat Tauhid
14 May 2025
Ketika orang mencapai tauhid, maka dia akan merasakan hidup ini ringan. Seperti kapas yang terbang ringan, mengikuti kemana angin menerbangkannya, lalu hinggap dimana. Atau seperti daun kering yang menempel di rerantingan, lalu dia terjatuh dengan penyerahan diri sepenuh hati.
Atau dimisalkan seperti sabut yang hanyut di sungai yang mengalir deras. Sabut tidak punya pilihan, hanya mengikuti kemana air mengalir. Akan tetapi, dia “yakin” perjalanan akan berujung ke muara. Demikian juga orang yang telah memasuki sumsum tauhid, dia terus berserah diri—hatinya—kemana saja Tuhan menghanyutkan kehidupannya. Karena dia yakin, nanti akan sampai pada muara kehidupan. Kepada Allah yang Maha Belas Kasih.
Tauhid bukan sebatas teori, melainkan sebuah kristalisasi dari keyakinan, ibadah, dan akhlak yang berkombinasi dalam jiwa. Tauhid disini adalah adalah buah. Karena melalui tauhid, seseorang akan meresapi rasanya agama.
Tauhid lawan dari syirik. Jika syirik menganggap bahwa ada kekuatan independen selain Allah Swt, sementara tauhid meyakini tidak ada satu pun sekutu bagi Allah. Allah tidak bergantung pada siapapun. Sementara segalanya bergantung pada Allah. Ketika orang sampai pada tauhid ini, maka kita akan terbawa untuk senantiasa bergantung pada Yang Maha Kokoh. Dzat yang tidak bergantung pada apapun. Sementara selain Allah masih bergantung. Bagaimana mungkin kita bergantung pada yang juga bergantung?
Seorang istri, misalnya, bergantung pada suami. Kiranya berapa lama suami akan sanggup dijadikan tempat bergantung. Apalagi istri selalu hadir dengan bermacam tuntutannya yang terus bertumbuh, makin membuncah, dan membludak. Sementara kapasitas manusia bisa menyusut. Betapa menderitanya orang yang makin kesini makin membawa bermacam keinginan, sementara kapasitas atau tenaganya makin menyusut?
Selain itu, suami pada saatnya akan meninggalkan dunia, atau ditinggalkan (oleh si istri). Manusia tidak abadi, dia tidak bisa selamanya menaungi, mengayomi, dan melindungi kita. Kita tahu bahwa manusia selain tidak kekal, juga rapuh. Sekali kita mengaitkan hubungan dengan selain Allah, maka kita akan sering dicecar penderitaan. Mengapa? Karena tidak mungkin orang yang kita jadikan tempat bersandar memenuhi semua apa yang kita inginkan. Bukankah penderitaan itu timbul bersamaan dengan tidak terpenuhinya keinginan?
Seorang istri, misalnya, bergantung pada suami. Seluruh kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada suami. Sementara suami—di kantor—sangat bergantung pada kebaikan manager. Manager sangat bergantung pada kebaikan direktur perusahaan. Direktur sangat bergantung pada tangan dingin dari CEO. Dan CEO juga bergantung pada komisaris atau owner. Dan owner pun tidak bisa berdiri sendiri, masih bergantung pada yang lain.
Manusia dibentuk dengan ikatan saling bergantung satu sama lain. Bayangkan, tanpa seorang petani kapas, tanpa pemintal benang, tanpa penjahit, bagaimana kita bisa mengenakan pakaian yang indah membalut tubuh kita. Tapi, mereka semua—petani kapas, pemintal, dan penjahit—juga bergantung pada petani, pada nelayan, pada pemasok makanan. Jika manusia dibangun dengan semangat saling bergantung satu sama lain, sementara Allah tidak bergantung pada siapapun.
Andaikan semua manusia beribadah dan memuji Allah, tidak bermaksiat sedikit pun, sama sekali tidak membuat kemuliaan Allah surplus. Tambah meningkat. Sebaliknya, jika semua orang berbuat maksiat pada Allah, sama sekali tidak membuat kemuliaan-Nya mengalami defisit, apalagi mendadak hina. Sama sekali tidak. Allah tak terpengaruh dengan apapun dan siapapun. Dia punya kehendak mandiri—tak ada seorang pun yang sanggup mengintervensi Allah. Sekaligus tak ada satu orang pun yang sanggup menghadang “kebijakan” atau perbuatan Allah.
Andaikan tauhid adalah mutiara yang tersimpan di relung samudera, maka kita harus menyelami berbagai lapisan demi lapisan, sehingga kemudian kita bisa menambang, sekaligus merasakan tauhid. Iman adalah kesadaran global yang harus menyentuh hati kita. Karena dengan iman, jiwa kita akan hidup.
Ketika hidup, maka jiwa akan mereguk rasa agama. Ayo, kita kupas lapis demi lapis dari iman, sehingga kita bisa memasuki makam tauhid. Tentu saja kita hubungkan dengan firman Allah QS. Al-Hujurat ayat 15.
“Sesungguhnya orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar”.
Pertama, iman yakin. Jenis iman ini telah membawa manusia pada keadaan tanpa keragunan sedikit pun. Segala bentuk keraguan terusir dalam hati. Benar-benar meyakini segala yang disandarkan pada Allah akan menjadi kenyataan. Sosok seperti ini, tidak lagi diterpa kecemasan terkait masa depan. Karena dia tak lagi bersandar pada dirinya, apalagi orang lain. Dia benar-benar bersandar pada Allah. Setiap persoalan yang menerpanya sama sekali tidak membuat dirinya jatuh di jurang kecemasan, apalagi perasaan shock yang berlebihan. Karena sejak dahulu—telah menyiapkan jiwa—untuk menyerakan urusan pada Allah. Mungkin masalah yang kita hadapi “sangat besar” menurut ukuran manusia, tapi di mata Allah sungguh sangat kecil. Dan masalah itu bukan dilihat dari kecil dan besarnya, tapi apakah masalah itu bisa selesai atau tidak. Dan bagi Allah masalah besar atau kecil sama saja. Sungguh, sangat mudah bagi Allah menyelesaikan sekaligus menuntaskan masalah yang kita hadapi.
Sosok seperti ini, akan berpikir, mungkin masalah yang kita hadapi besar, tapi Allah jauh lebih agung daripada masalah yang kita hadapi. Semua masalah kecil di hadapan Allah. Dengan keyakinan tersebut, selalu terbuka jalan keluar atas masalah yang kita hadapi. Sebagaimana kalau ada gembok pasti disediakan kuncinya, kalau ada pertanyaan pasti telah tersedia jawabannya, begitu juga ketika ada persoalan pasti tersedia jalan keluar yang disiapkan oleh Allah. Dan yang tahu persis jalan keluar atas masalah yang kita hadapi hanya Allah. Sementara manusia bergerak di antara kemungkinan-kemungkinan (probabilitas).
Keyakinan—bisa saja—terbentuk oleh karena pengalaman demi pengalaman yang dijalani, didukung oleh pemahaman yang mengakar pada Al-Qur’an dan hadis. Sehingga dia tak lagi menemukan ruang keraguan atas kebaikan Allah Swt. Dia meyakini bahwa Allah akan merealisasikan diri-Nya sesuai dengan keyakinannya. Bukankah Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya? Dengan modal keyakinan ini, ketika dia diterpa masalah, hatinya tidak dipapar goyah-gayih, atau goncangan, dia tetap stabil karena dia mengembalikan urusan pada Allah. Dan Allah tidak akan pernah mengecewakan orang yang mempercayakan suatu urusan—dengan sepenuh keyakinan—pada-Nya.
Kedua, iman cinta. Ketika cinta telah merasuki jiwa manusia, maka dia telah meletakkan pikiran. Melampaui perspektif dualitas. Karena fokus pada sifat Allah Yang Maha Baik. Dia menyadari segala hal yang datang dari Allah adalah kebaikan saja. Jika Anda tidak menemukan kebaikan, jangan mengoreksi Allah, tapi yang Anda periksa pikiran Anda sendiri. Bukankah banyak orang mengukur baik dan buruk menurut keinginan? Jika kenyataan tidak sejalan dengan keinginan disebut buruk. Sebaliknya, jika kenyataan sesuai dengan keinginan maka disebut baik. Semua apa yang Allah berikan pada kita adalah kebaikan. Hanya saja kita disuguhi oleh bungkus kenyataan yang kadang baik dan kadang buruk. Akan tetapi, sebenarnya di dalamnya hanya berisi kebaikan.
Bayangkan, kalau Anda sedang membeli snack misalnya. Semula Anda tertarik pada bungkusnya. Seolah Anda memutuskan membeli atau tidak sangat bergantung apa bungkusnya memiliki daya tarik atau tidak. Kalau dari bungkusnya saja tidak menarik, maka Anda tidak tertarik, maka Anda tidak akan melakukan langkah berikutnya. Tapi, kalau Anda tertarik, mungkin akan menawar makanan yang Anda sukai itu. Lalu Anda membelinya.
Jika Anda merobek bungkusnya, Anda makan, mengunyah, lalu menelan makanan tersebut sampai tandas. Tentu Anda puas. Tapi, apakah bungkusnya ikut Anda telan? Tentu saja tidak. Bungkusnya akan Anda buang.
Selalu ingat bahwa isi dari setiap realitas takdir yang disajikan pada Anda baik. Karena berasal dari Yang Maha Baik. Jika kesadaran ini telah terpatri dalam diri Anda, tentu Anda tidak akan pernah berpikir untuk mengeluh apalagi menyusun kekuatan resistensi. Tapi, Anda akan terbawa ke maqam ridha. Selalu sekemauan dengan Allah. Memang cinta meniscayakan menerima seutuhnya pada siapa yang dicintai. Tidak hanya menerima kebaikannya, juga menerima “keburukannya”. Karena bagi pencinta tak ada keburukan, semua adalah kebaikan. Kalau Anda mengaku mencintai Allah, maka menerima Allah seutuhnya. Jangan seperti wanita matre. “Ketika ada uang abang disayang. Ketika tak ada uang, abang ditendang”.
Pencinta Allah selalu menerima apapun yang datang dari Allah. Kendati diterpa musibah, dia tetap ridha, karena yakin dibalik semuanya ada kebaikan yang Allah sembunyikan. Pada saatnya, kebaikan itu akan tersingkap. Hadir untuk memproduksi kepuasan yang melimpah.
Ketiga, iman tauhid. Tauhid disini adalah tidak hanya mencintai, tetapi sudah menyatu dengan kehendak Allah. Dia tidak hanya menyatu dalam kehendak takwin, tapi juga menyatu dalam kehendak tasyrik. Artinya, dia tidak pernah berselisih dengan Allah dalam dua kehendak tersebut. Jika kemudian, dia terperosok dalam perbuatan maksiat, maka di luar kemampuan dia. Berarti khilaf. Selain itu, dia tidak pernah mengklaim kebaikan yang dilakukan karena usahanya, tapi karena pertolongan Allah. Bahkan, dia sadar setiap kebaikan—darinya—disadari sebagai perbuatan Allah yang dinisbatkan padanya. Jika orang telah menggapai maqam tauhid, dia tidak lagi melihat dirinya. Yang dia lihat hanya Allah Swt. Bukan hanya riya’ yang terkikis, ujub pun terkikis dari dirinya.
Ketika orang telah berada di maqam iman tauhid, dia tidak lagi merasa berjalan sendiri, melainkan merasa sedang diperjalankan oleh Allah Swt. Dia merasa sebagai obyek dari perbuatan Allah Swt. Dengan demikian, dia benar-benar berserah diri total pada Allah.
Mungkin saja dia melakukan kebaikan, tapi dia tak meminta diterima-kasihi apalagi mendapatkan balasan. Karena dia merasa bahwa apa dilakukakan sama sekali bukan darinya. Hanya lewat dirinya. Dia tak merasa punya wujud sendiri. Wujudnya hanya pinjaman dari Allah. Dan itu bersifat hudus (baru). Sebelumnya tidak ada, lalu ada, lalu tidak ada lagi, lalu ada lagi. Terus berada dalam fase yang berubah dan diperbaharui. Sementara Allah bersifat Qadim lagi Baqa’. Maha Dahulu lagi Maha Kekal.
Bukan hanya itu, secara hakiki sebenarnya kita tidak ada. Kita hanya bayangan atau refleksi dari Yang Maha Ada. Berkait dengan pemahaman ini, maka bayangan selalu mengikuti yang punya bayangan. Dari dirinya sendiri, sejatinya, kita tidak punya kuasa apa-apa. Karena semua ‘kebisaan’ yang ditampakkan sejatinya adalah kuasa Allah semata-mata. Begitu juga hidup yang diterima, bukan milik kita. Melainkan milik Allah. Buktinya, kita tak bisa mengendalikan hidup kita. Kapan kita dilahirkan, kapan dimatikan. Sama-sama berada dalam genggaman Allah. Tidak berada dalam kuasa kita.
Kembali kepada bayangan. Bahwa kebahagiaan sejati bagi bayangan adalah kembali pada yang punya bayangan. Begitulah, kebahagiaan sejati bagi kita adalah ketika bisa kembali kepada Allah. Berserah diri pada Allah. Karena itu, Allah meminta kita jangan mati kecuali dalam keadaan berserah diri pada Allah.
0 comments