-->

Kebahagiaan

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Kebahagiaan

16 June 2025

Kebahagiaan

16 June 2025


Setiap orang berbicara kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi tujuan final dalam kehidupan manusia. Tak ada tujuan lagi setelah kebahagiaan. Karena itu, ketika orang berbicara kebahagiaan tidak bisa memastikan orang tersebut telah mereguk kebahagiaan. Boleh jadi, dia terus berbicara, bahkan, mengampanyekan kebahagiaan karena dia sendiri masih terhalang untuk mereguk kebahagiaan.

Dia sangat rindu dengan kebahagiaan, sehingga terus terucap lewat kata. Tak sedikit orang yang mengunggah story tentang bahagia, bukan berarti orang tersebut telah diliputi kebahagiaan. Boleh jadi, dia ingin mendapatkan penguatan dari orang lain bagaimana bisa menembus ruang kebahagiaan.

Guru saya pernah menggambarkan tentang orang yang masih bicara bahagia, dan telah mereguk cawan kebahagiaan. Kita bisa belajar pada lebah. Pada mulanya, sebelum menemukan sarang madu, lebah-lebah itu meriung, suaranya bergemuruh, sampai kemudian ia menukik ke sarang madu, dan ia pun bisa menyesap madu tersebut. Ternyata setelah menyesap madu, suaranya senyap. Seolah tertelan oleh nikmatnya rasa madu.

Ketika orang belum mengalami, maka hidupnya penuh kebisingan. Bicara kebaikan, tapi kebaikan belum terserap ke dalam dirinya. Pada mulanya, orang hanya bicara tentang kebahagiaan, lalu dia menapaki jalan menuju kebahagiaan. Setelah sampai di stasiun kebahagiaan, dia tidak hanya bertemu dengan kebahagiaan, tapi juga menyatu dengan kebahagiaan. Alias menjadi kebahagiaan. 

Mungkin saja, dia tak lagi banyak “mengoceh” tentang kebahagiaan, namun kebahagiaan telah menyatu dalam jiwanya. Memandang wajahnya saja akan membuat orang terasa menyerap kebahagiaan. Dikala orang telah menggapai fase menjadi kebahagiaan, semua yang memancar darinya meninggalkan rasa bahagia di hati orang lain.

Pernahkah Anda terserang penderitaan yang sangat mencekam. Lantas, Anda sowan pada seorang ulama yang hatinya telah menjelma masih oase bahkan lautan yang luas. Hanya dengan menatap wajahnya, seolah seluruh masalah yang menggantung di pikiran lepas, luruh, dan luntur begitu saja.

Adalah seorang yang pikirannya sedang berkecamuk dengan bermacam persoalan yang rumit. Seolah sangat sulit diurai. Stress makin dalam menekan dirinya. Dia berkunjung pada seorang ulama. Setibanya di rumah ulama, dia masuk ke ruangan tersebut, pelan-pelan perasaan gundah lenyap, dan berganti dengan kebahagiaan yang menyembur jiwanya. Apalagi, ketika melihat wajah sang ulama yang menyiratkan ketenangan dan kedamaian, rasanya vibrasi positif itu ikut menembus ruang hatinya. Kedamaian yang tak bisa divisualisasikan.

Mungkin masalah yang sedang mencengkramnya masih ada. Tapi kegundahan dan kesedihan sudah terlepas dari hatinya. Padahal, tak jarang masalah di luar akan terselesaikan ketika di dalamnya sudah selesai. Selesai menyerahkan urusan sepenuhnya kepada Allah.

Melalui kisah tersebut, saya memetik kesimpulan bahwa kebahagiaan bersifat subyektif. Bukan bergantung pada kondisi obyektif yang bertebaran di luaran. Kita menyadari tidak punya kontrol terhadap realitas yang tiba-tiba menghantam kita. Namun, kita diberi kesempatan untuk mengontrol sikap kita terhadap realitas takdir yang tersaji di hadapan kita.

Perlu kembali disadari bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada kondisi luaran. Apalagi pada obyek yang berada di luar kontrol kita. Kebahagiaan bergantung pada respon kita terhadap realitas. Sementara respon berkait kelindan dengan sudut pandang kita. Jika kita memandang secara positif, maka terbawa pada sikap atau respon kita yang positif. Jika sudut pandang kita cenderung negatif, maka kita akan mengambil respon yang juga negatif.

Sementara sudut pandang sangat ditentukan oleh kualitas keimanan. Makin tinggi kualitas keimanan seseorang, maka sudut pandang makin jernih, sikap makin positif, kebahagiaan bersinar di jiwanya.

Kaitan iman dengan penyikapan seseorang terhadap realitas takdir, terbagi tiga.

Pertama, iman orang awam. Iman orang awam cenderung percaya. Seperti akar yang tidak terhunjam kuat di tanah. Mudah sekali tumbang. Imannya orang awam membawa seseorang memandang nikmat dan musibah sebagai dua hal yang berlawanan. Karena berlawanan, maka kita dihadapkan pada sebuah pemilahan dan pemilihan. Setelah memilah, lalu kemudian kita memilih. Musibah dipandang sebagai lawan bagi nikmat. Kita memandangnya nikmat lebih baik daripada musibah. 

Karena itu, dia menendang musibah, dan memeluk nikmat. Sosok seperti ini akan terus berada dalam kondisi jungkir balik. Karena di permukaan selalu berubah. Kalau kita bergantung pada kondisi luaran, maka hati kita akan selalu digerakkan oleh keadaan yang berada di luar. Kadang hatinya dipenuhi rasa gembira raya, tapi tiba-tiba harus tenggelam karena diganti oleh badai kesedihan. Tombol kebahagiaan dirinya berada di luar. Bukan di dalam dirinya.

Kedua, imannya orang alim. Iman semacam ini bukan lagi percaya. Tapi sudah sampai pada level cinta. Ketika orang sudah menggapai iman level cinta dia akan memandang realitas yang datang silih berganti bukan lagi berlawanan, tapi justru berpasangan. Karena berpasangan, keduanya saling melengkapi. Bayangkan, kita tidak akan mengenal kanan tanpa ada kiri. Jika semuanya kanan, maka kanan itu tidak ada. Kanan menjadi eksis karena ada kiri. 

Menang pun tidak ada tanpa ada yang kalah. Karena itu, orang yang menang harus berterima kasih pada yang kalah. Karena tanpa ada yang kalah, maka kemenangan itu tidak akan Anda raih. Begitu juga istilah cantik sangat bergantung pada jelek. Jika semua orang cantik, maka cantik itu tidak ada. Kecantikan bersinar, karena ada yang jelek.

Anda bisa melihat purnama yang bersinar indah dan paripurna karena dikelilingi oleh kegelapan. Bayangkan, jika purnama itu bersinar di siang hari yang terang-benderang, tentu saja keindahan purnama akan lenyap dan tidak berharga. Ketika orang diterpa oleh matahari yang menyengat, membuat keringat bercucuran di tubuhnya. Tentu saja, dia merasa tidak nyaman. 

Lantas, dia melangkahkan kaki ke kantor. Ketika membuka pintu kantor, tiba-tiba menguar rasa dingin yang menyebar di mana-mana. Udara AC menyebar meliputi seluruh badannya. Tentu saja nikmat AC sangat terasa setelah disengat oleh terik matahari di luar kantor.

Begitulah, kehidupan yang kita temui juga berpasangan. Selagi Anda tidak merasakan sakit, seolah sehat dianggap biasa-biasa saja. Setelah kesehatan direnggut dari tubuh, diganti dengan penyakit yang menjangkiti tubuh, maka baru tahu tentang makna sehat. Ketika pulih kembali dari sekit tersebut, Anda akan bersyukur selalu akan nikmat sehat yang Allah anugerahkan.

Ketiga, imannya orang arif. Memandang nikmat dan musibah adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Seperti mata uang yang terdiri dari dua sisi. Mungkin gambarnya berbeda tapi nilainya sama. Mengapa orang arif punya perspektif demikian? Karena semua kenyataan—yang dianggap dualitas itu—hanya bentuk kehadiran Allah Yang Maha Tunggal. 

Bukankah kehadiran Allah itulah yang penting bagi pencinta? Memang Allah kadang hadir dengan sifat jalal-Nya melalui musibah yang ditimpakan pada kita. Dan Allah hadir dengan sifat jamal-Nya melalui nikmat yang Allah berikan. Bagi seorang arif, tidak lagi melihat musibah dan nikmat, tapi fokus pada Allah yang memberikan nikmat dan mendatangkan musibah. Allah Maha Baik, Maha Sempurna, maka tidak ada yang datang dari-Nya kecuali kebaikan, kecuali telah sempurna.

Sekarang, kita menyeksamai diri kita masing-masing, kira-kira sudah sampai pada kelas iman yang mana?

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang