Role Model Keluarga Agamis
02 June 2025
Kita mendapati keluarga yang senantiasa dipoles dan dihias oleh agama. Bukan hanya membentuk harmoni ke dalam, tapi juga memancarkan keindahan ke luar. Sebuah keluarga yang komplit, sempurna, dan menjadi inspirasi bagi yang lain. Mungkin setiap orang sangat mendambakan keluarga semacam ini. Keluarga ini bukan hanya menjadi lentera di gubuk sendiri, tetapi menyebar sebagai cahaya temaram bagi tetangga kanan-kiri, meluas sampai ke seluruh pelosok dunia. Menjadi inspirasi sepanjang sejarah. Diingat bukan hanya oleh satu penganut agama saja. Seluruh agama samawi menjaring keteladanan yang jernih dari keluarga ini.
Islam sendiri mengabadikan keluarga ini dalam sebuah ritual perayaan yang mengharu-biru jiwa. Hari Raya Idul Adha. Di kala beduk ditabuh, takbir bergema dimana-mana, ditingkahi dengan cahaya kembang api untuk mengekspresikan kebahagiaan yang meluap-luap di hati, pikiran manusia terlempar pada sejarah keluarga agung ini. Keluarga ini bukan sekedar menjadi monumen benda mati, tapi menyimpan nilai-nilai yang menginspirasi dan menyemangati manusia lintas generasi. Bagaimana keluarga ini memperagakan cinta secara nyata pada Tuhan? Bagaimana keluarga ini menunjukkan kepatuhan tanpa bertanya pada Allah? Bagaimana keluarga ini ditarik ke relung penyerahan yang dalam pada Allah. Semuanya berhimpun pada keluarga agung ini. Itulah keluarga Nabi Ibrahim a.s.
Nabi Ibrahim Simbol Cinta
Beliau sendiri adalah Bapak Tauhid yang menyajikan dengan gamblang kepada Allah bagaimana menunjukkan kesesuian jiwanya pada Allah. Tidak pernah berselisih sedikit pun pada Allah. Beliau kristalisasi dari cinta. Beliau mempersembahkan kepada kita bagaimana cara mencintai Tuhan. Sebuah cinta yang tak lagi ada jejak diri, tenggelam keseluruhan jiwanya pada Allah yang dicintai.
Beliau seperti garam yang larut di lautan. Sudah tak ada lagi dirinya, karena telah menyatu dengan lautan cinta Allah yang luas. Nabi Ibrahim a.s memvalidasi pada kita tentang makna cinta. Bahwa cinta menuntut segalanya dari kita. Dia bukan hanya meminta apa yang tergenggam di tanganmu, bahkan dirimu sendiri akan direnggut oleh cinta.
Begitulah, Nabi Ibrahim a.s menunjukkan cinta tidak berhenti di kata-kata, tetapi mengorbankan segalanya. Dari harta yang dimiliki, jika Allah meminta untuk dibagikan pada sesama, maka beliau tak perlu berpikir panjang. Langsung dia berikan tanpa sisa. Ketika beliau harus dilemparkan ke dalam kobaran Api Namrud, beliau sama sekali tidak mengeluh, mempertanyakan, apalagi memprotes. Beliau benar-benar luruh di hadapan Allah. Bahkan, ketika datang Jibril a.s menawarkan bantuan, beliau sama sekali tidak tertarik. Justru makin menguat kebergantungannya pada Allah. Sama sekali tak ada makhluk dalam hatinya. Termasuk Jibril a.s. Hanya hanya Allah satu-satunya yang bersinggasana dan mengusai hatinya.
Puncaknya, bagaimana ketika beliau disuruh “menyembelih” anaknya sebagai bentuk cintanya pada Allah. Beliau sama sekali tidak keberatan, meski anak yang diminta untuk dikorbankan sudah lama beliau nantikan. Cinta pada Allah mengalahkan segalanya. Termasuk cinta terhadap anaknya. Meski tidak sampai disembelih, Nabi Ibrahim a.s telah menobatkan sebagai kholilullah. Kekasih dekat Allah. Seorang Nabi monotiesme. Mengagungkan monoloyalitas, kesetiaaan tunggal hanya pada Allah.
Sayyidah Hajar Simbol Kepatuhan
Nabi Ibrahim a.s—dengan cintanya—telah memancarkan spirit agama pada Sayyidah Hajar. Sosok wanita yang semula dari kalangan ningrat, lalu karena kerajaannya kalah dalam peperangan, beliau dijadikan budak. Lalu dimerdekakan lagi oleh Siti Sarah. Dan dijadikan istri kedua dari Nabi Ibrahim a.s.
Dari figur Siti Hajar, kita menemukan keteladanan yang jernih tentang arti kepatuhan. Cinta meniscayakan kepatuhan. Wanita mulia ini tidak pernah menyela, tidak pernah menolak, apalagi menentang perintah suaminya, Nabi Ibrahim a.s. Dia wanita yang sangat tunduk pada suami, karena suaminya tunduk pada Allah. Bayangkan, ketika beliau ditinggal di padang pasir yang tandus, hanya berdua dengan buah hatinya, Ismail. Beliau sama sekali tidak menaruh keberatan. Hanya beliau mengonfirmasi pada sang suami, apakah ini perintah Allah? “Iya, perintah Allah”, Nabi Ibrahim menjawab. Ketika mendapat jawaban semacam itu, Siti Hajar tidak lagi bertanya. Hatinya sangat mantap merasa dalam jaminan Allah.
Ujian kepatuhan Siti Hajar tampak ketika beliau mendapati dirinya dalam keadaan haus, sementara anaknya, Ismail terus-menerus merengek karena kehausan. Sebelum ditinggal, Nabi Ibrahim a.s berpesan pada Siti Hajar agar tidak keluar dari batas Shafa dan Marwa. Sembari beliau meninggalkan bekal untuk istri dan buah hatinya berupa kurma, air, dan doa hasbunallah wanikmal wakil nikmal mawla wanikman nashir. Mula-mula kurma habis, disusul cadangan air yang juga habis, berarti yang tersisa hanya doa.
Ketika cadangan makanan dan minuman habis, sementara Nabi Ismail terus merengek, maka Siti Hajar mencari-cari air, sementara beliau hanya mendapat batas mencari air antara Shafa dan Marwa. Tidak lebih. Meski demikian, beliau bolak-balik antara Shafa dan marwa dengan lari-lari kecil sampai 7 kali putaran. Di sela-sela lari-lari kecil, beliau sambil merapal doa yang diajari oleh Nabi Ibrahim a.s, Hasbunallahu wanikmal wakiil nikmal mawla wanikman nashiir.
Meski tidak menemukan air di antara Shofa dan Marwa, beliau terus bergerak tanpa putus asa, tiba-tiba beliau menemukan air memancar dari permukaan tanah yang mendapat hentakan kaki Nabi Ismail yang masih mungil. Kemudian air itu disebut Zam-Zam. Bukan hanya sejarah Siti Hajar yang harum. Berkat kesabaran, keteguhan, kepatuhan pada Allah, Air Zam-zam menjadi hadiah yang terus mengalir sepanjang sejarah, dan dinikmati oleh jutaan—atau mungkin—miliaran manusia. Saking mulianya Siti Hajar, Allah abadikan pula melalui kain kiswah yang berwarna hitam.
Nabi Ismail Monumen Penyerahan Diri
Sosok yang dibentuk oleh penempaan mental bertubi-tubi membuat beliau menjadi pribadi yang tahan banting. Dipadu dengan kehandalannya dalam memanah. Badannya yang kekar, dan berparas tampan memancing setiap orang tertarik menatapnya lama-lama dari dekat. Dialah sosok yang nanti dirancang akan mewarisi dakwah ayah yang mulia, Nabi Ibrahim a.s. Namun, ketika Nabi Ibrahim a.s memuncak cintanya pada Ismail, tiba-tiba muncul perintah—melalui mimpi—untuk menyembelih putra yang sangat dicintai.
Perintah ini sebentuk ujian yang paling besar bagi Nabi Ibrahim a.s. Andaikan disodorkan pilihan bagi Nabi Ibrahim a.s, apakah mengorbankan diri atau putra tercintanya. Beliau, kemungkinan besar, akan memilih mengorbankan dirinya. Karena dirinya sendiri sudah mencapai usia senja, sementara Nabi Ismail masih muda dan bersinar masa depannya, sekaligus sangat layak melanjutkan dakwah yang selama Nabi Ibrahim a.s tapaki. Tapi, Nabi Ibrahim a.s tidak punya pilihan kecuali menunaikan perintah Dzat yang dicintainya.
Ketika Nabi Ibrahim a.s didatangi mimpi, dan meyakini itu sebagai isyarat dari perintah, beliau mengajak musyawarah Nabi Ismail a.s tentang perintah yang disampaikan lewat mimpi. Nabi Ismail a.s menanggapi dengan penuh penyerahan diri. Beliau tidak pernah resisten atau menolak perintah tersebut. Nabi Ismail a.s berada dalam maqam penyerahan total pada Allah. Justru dengan penyerahan diri yang total, pisau yang sudah disiapkan menyembelih Nabi Ismail a.s sama sekali tidak mempan, hingga Jibril a.s datangkan domba kibas sebagai ganti Ismail.
Apa pelajaran yang kita petik dari proses pengorbanan Nabi Ismail? Allah hanya menguji apakah Nabi Ibrahim a.s lebih mencintai anaknya ketimbang Allah? Apakah Ismail a.s menjadi orang lebih mencintai dirinya ketimbang Allah? Nyatanya keduanya lebih mencintai Allah daripada siapapun dan apapun. Dia serahkan bahkan rela mempersembahkan untuk memenuhi keridhaan Zat yang dicintainya. Dan justru setelah berserah diri, maka ujian itu sudah sampai puncaknya, maka Nabi Ibrahim a.s Allah nobatkan sebagai khalilullah.
Sebagai bentuk penghormatan Allah terhadap keluarga ini, maka Allah ukir melalui ibadah yang dilakukan umat Islam. Thawaf memperagakan tentang jiwa Nabi Ibrahim a.s yang penuh cinta. Sai memperagakan jiwa Sayyidah Hajar yang penuh kepatuhan dan ketulusan. Sujud di Hijr Ismail memperagakan tetap jiwa Nabi Ismail a.s yang sangat kental dengan penyerahan diri.
0 comments