Rumah Tanpa Keluarga
14 July 2025
Home
Without Family, sebuah film yang sempat meledak di awal tahun
2000-an. Menggambarkan betapa banyak rumah-rumah dihuni oleh pasangan
suami-istri, tapi mereka sejatinya hidup sendirian. Berjalan sendiri. Seperti
kereta tanpa lokomotif. Tanpa kepemimpinan. Mereka punya agenda
sendiri-sendiri. Bahkan seluruh aktivitas mereka dikerjakan sendiri-sendiri. Tanpa
disertai oleh visi yang sama untuk mencapai kebahagiaan bersama. Mereka
sama-sama bekerja, tapi tidak pernah merasakan kerjasama.
Rumah
tak ubahnya seperti home stay. Rehat sebentar untuk kemudian keesokan
harinya berpencar untuk melanjutkan kerja sendiri-sendiri, dan memburu ambisi
masing-masing. Pertengkaran dalam rumah tangga menjadi menu sekaligus tontonan
harian. Seolah masuk ke rumah bukan mereguk aroma surga, tapi justru membawanya
terjebak di ruang neraka. Mereka bisa tidak saling menyapa satu sama lain. Sanggup
saling diam dalam rentang waktu yang lama, sampai kemudian di antara mereka
saling lapang dada. Mereka bisa tinggal satu atap rumah, tapi beda kamar. Dan
sama sekali tidak menjalani kehidupan suami istri yang normal.
Kehidupan
rumah tangga yang selalu berada dalam suasana berantem, dan saling menghunus
“pedang” keakuan masing-masing, bisa berdampak pada kehidupan anak-anak yang
sedang bertumbuh. Anak-anak tak memeroleh asupan kasih sayang dari kedua orang
tuanya. Mereka mengais kasih sayang di jalanan. Alih-alih kasih sayang yang
didapatkan, mereka justru mendapatkan jalan kehidupan yang sangat keras. Karena
bergumul dengan kehidupan yang keras, maka anak-anak pun tumbuh menjadi pribadi
yang keras, bahkan terperosok dalam perbuatan jahat.
Anak-anak
telah mengalami yatim sebelum kedua orang tuanya meninggal. Mereka menjadi
“yatim” karena tidak memperoleh kasih sayang yang totalitas dari kedua orang
tuanya. Tidak berhenti di situ, orang tuanya memutuskan untuk berpisah, alias
bercerai. Seketika itu, grafik kebanggaan anak kepada kedua orang tuanya turun
drastis. Kedua orang tua telah menjelma bak kaca yang pecah berserakan. Sudah
tak lagi layak dijadikan tempat bercermin yang baik. Setelah berpisah, kedua
orang tuanya mencari pasangan barunya masing-masing. Kedua orang tuanya sudah
sama-sama menjalani pernikahan dengan pasangan barunya, praktis anak-anak telah
mendapatkan dua ayah, dan dua ibu sekaligus. Jadi, kalau dulu, orang tua
memiliki banyak anak. Tapi, kemudian memasuki kondisi berbalik, satu anak
memiliki banyak orang tua. Sebuah kondisi yang mengenaskan.
Saya
mengira gambaran rumah tangga seperti ini tidak akan menyeruak di negeri yang
rata-rata muslim ini. Namun, setelah dilakukan riset yang mendalam, ternyata
tingkat perceraian terus tergerek naik, jika tidak disebut meroket tajam.
Bayangkan, grafik perceraian sudah mencapai 33% setiap tahunnya. Sungguh sangat
mengenaskan. Seolah sangat gampang setiap orang untuk bercerai. Tanpa
memikirkan dampak yang ditimbulkan.
Ada sebagian yang bertahan untuk menjaga keutuhan rumah tangga, karena masih memikirkan masa depan anak-anak mereka. Seperti orang yang bertahan di rumah yang sedang terbakar, dikepung api yang menyala-nyala. Meski api kebencian saling menjilat satu sama lain, mereka terus saja mempertahankan rumah tangga demi anaknya. Karena hidup dalam api kebencian, maka rumah tangga menjadi neraka. Padahal, kita sadar bahwa pernikahan dihelat untuk bisa mengunduh kebahagiaan. Tapi, sebagian orang yang menikah bilang, “Ternyata pernikahan jauh lebih membuat orang menderita ketimbang menjomblo”. Jadi jombol menderita, tapi penderitaan dirasakan lebih berlipat-lipat ketika berada di dalam belenggu pernikahan yang tidak sehat.
Cerita-cerita
pedihnya pernikahan ini membuat anak-anak muda takut memasuki balantara
pernikahan. Mereka lebih nyaman hidup sendirian. Tanpa pasangan hidup. Mereka
habiskan waktu memikirkan karir dan mendapatkan uang yang banyak, sehingga tak
sempat lagi memikirkan tentang keluarga. Mereka membunuh keinginan untuk
menikah. Seolah dia bisa mereguk kebahagiaan tanpa harus menikah.
Menelusuri fenomena seperti ini
membuat saya sendiri miris. Perlu diketahui, pernikahan bukan tujuan.
Pernikahan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Tujuan dari kehidupan ini
adalah menggapai kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Melalui pernikahan,
seharusnya orang lebih mudah mengakses kebahagiaan. Nabi Muhammad Saw bersabda,
“Barangsiapa seorang hamba yang menikah, sungguh dia telah menyempurnakan
separuh agama, maka bertakwalah untuk menyempurnakan separuh sisanya”.
Pernikahan
tidak serta-merta membawa orang menuju kebahagiaan. Hanya pernikahan yang
didasari ketakwaan yang akan menerbitkan surga dalam rumah tangga. Karena itu,
energi ketakwaan seharusnya sudah kita persiapkan sebelum pernikahan. Takwa
identik dengan kebersihan hati. Sebagaimana Islam dibangun di atas dasar
kesucian, maka rumah tangga juga perlu dibangun di atas dasar kesucian. Karena
kesucian hati inilah yang mengundang surga ke dalam hati.
Selain
itu, pernikahan diharapkan menjadi sebuah pelatihan agar kita menggapai
kedewasaan ruhani. Seseorang disebut dewasa ketika dia telah berhasil
menyingkirkan kepentingan diri sendiri, berjuang memenuhi kebutuhan orang yang
dicintai. Bagaimana seorang ayah bisa menyingkirkan kepentingan dirinya di
hadapan anak-anak. Lebih mendahulukan kebutuhan anak-anak ketimbang dirinya.
Seorang suami bisa mengutamakan kebutuhan istri ketimbang pemenuhan dirinya
sendiri. Jika seseorang telah berhasil mengikis keakuan, maka kebahagiaan akan
mekar dalam kehidupan rumah tangga.
Mengikis
keakuan sendiri adalah perjuangan tanpa batas. Saya teringat pada kalam Guru
Mulia, “Keakuan adalah musuh dari cinta. Ketika cinta telah menguasai hati,
maka keakuan akan lenyap. Tapi, ketika keakuan menguasai hati, maka cinta akan
lenyap”. Dan kita—melalui keluarga—berjuang untuk melenyapkan keakuan, sehingga
tumbuh cinta sejati dan abadi. Karena dari cinta sejati dan abadi, kebahagiaan
akan memancar deras. Insya Allah.
0 comments