Mengapa Ujian Selalu Ada?
11 August 2025
Sedari
awal kita harus sadar bahwa kita—semua tak terkecuali—adalah peserta ujian. Siapa
pengujinya? Penguji—sejati—adalah Allah Swt. Jika kita mengenali Pengujinya,
maka tentu saja kita akan merasa ringan dalam menjalani ujian tersebut. Mengapa
demikian? Kita sadar bahwa yang menyuguhkan ujian pada kita adalah Zat Yang
Maha Belas Kasih. Allah tidak pernah berbuat zalim pada kita, kecuali kita
sendiri yang condong berlaku zalim pada diri sendiri.
Jika
kita merasakan sakit oleh sebab kenyataan yang hadir di hadapan kita, jangan
salahkan kenyataan, tapi salahkan diri kita sendiri. Karena sakit yang kita
derita tidak berasal dari siapa-siapa, melainkan bersumber dari dari kita
sendiri.
Bisa
saja, dua orang diterpa ujian yang sama, tapi memiliki warna kehidupan yang
berbeda. Satunya terlihat layu, tertimpa kesedihan mendalam, penuh dengan
keluh-kesah, penderitaan mencengkeramnya kuat-kuat. Sementara yang lainnya,
terlihat menikmati ujian yang Allah sajikan, sembari menelusuri apa kiranya
hikmah yang bisa dipungut dibalik ujian tersebut. Karena yakin ujian tidak ada
yang sia-sia. Tidak acak. Pasti sudah direncanakan dengan matang oleh Allah.
Dan komposisi dalam perencanaan menyimpan kasih sayang. Karena itu, dia tidak
mengeluh. Dia memilih untuk bersabar, bahkan mendaki ke maqam sabar, lalu
menanjak ke maqam ridha, bahkan menggapai puncak syukur.
Kadang
Allah membongkar sebuah ruang yang tertutup untuk membuat celah agar cahaya
masuk ke ruang tersebut. Begitu juga, kadang Allah meluncurkan ujian pada kita
agar kita bisa mengakses hidayah dari Allah. Jika orang telah meraih hidayah,
dia akan merasakan kebahagiaan selalu tertuang di dadanya. Tak sedikit orang
yang terus-menerus “menggelayut” pada Allah karena dia selau diberi ujian.
Sekaligus dia merasa tidak bisa apa-apa tanpa pertolongan Allah Swt.
Membuka
Kesadaran Kehambaan
Ujian
hadir untuk membawa kita merasakan jiwa kehambaan kita di hadapan Allah.
Kemudahan dan nikmat yang didapatkan manusia, tak jarang, membuat orang lupa
pada akar dirinya. Dia merasa sebagai pusat dari segalanya. Padahal, dia tetap
sebagai hamba yang selalu butuh pada Allah. Dikala orang menyerap penghayatan
akan kehambaan dirinya, disana akan kembali menemukan kebahagiaan otentik yang
terpendam dalam dirinya.
Orang
yang senantiasa mendapat nikmat, tiada sedikit pun musibah menerpanya. Setiap
keinginannya terpenuhi. Setiap obsesinya tergapai. Kelak dia menjelama sebagai
sosok yang sombong. Merasa menjadi orang yang hebat. Bahkan menganggap segala
nikmat yang didapatkan sebagai hasil dari usaha dan perjuangannya sendiri.
Renungilah perjalanan hidup Fir’aun yang muncul sebagai sosok sombong bahkan
mendaku dirinya sebagai tuhan. Mengapa? Dikisahkan karena dia tidak pernah
sakit. Seolah tidak pernah diterpa kondisi nestapa.
Ketika
musibah datang mengirimkan pesan bahwa kita adalah hamba yang selalu butuh
pertolongan. Tidak bisa apa-apa. Iya, tanpa pertolongan Allah kita tidak bisa
apa-apa. Bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran kehambaan, kebahagiaan akan
bersemi di dalam hati. Karena jiwa dengan sendiri akan selalu terhubung,
tersambung, dan bergantung pada Allah. Bukankah dalam kebergantungan jiwa
dengan Allah, kebahagiaan akan terus tumbuh subur dalam hati.
Musibah
Mengaktualiasasi Potensi Diri
Musibah
juga hadir untuk mengaktualisasikan potensi besar yang tertimbun dalam diri
manusia. Jika tidak dipancing, potensi kita tidak terlihat. Bayangkan, seorang
anak muda tidak bisa melompati kali yang sangat lebar. Akan tetapi, suatu saat
dia dikejar oleh anjing yang sangat galak. Dia lari kencang menggunakan seluruh
tenaganya, berharap tidak diterkam oleh anjing. Maka dia pun melompati kali
tersebut dengan kekuatan puncaknya. Apa yang terjadi? Dia juga merasa heran
dengan dirinya, kok bisa melompati kali tersebut.
Demikianlah,
jika kita tidak punya masalah dalam hidup ini, maka kita tak mengerti kemampuan
yang tersimpan dalam diri kita. Setelah masalah datang menerjang, baru kita
berfokus mencari jalan keluar atas masalah yang kita hadapi. Dikala kita fokus
terhadap masalah, sekaligus mencari jalan keluar dari masalah tersebut, maka
seluruh kekuatan yang ada di dalam dirinya dipanggil. Disanalah dia menemukan
ilham yang membuka jalan keluar atas masalah yang dihadapi. Ketika satu masalah
dihadapi, maka dia akan mengerti kapasitas yang Allah berikan padanya. Tidak
hanya mengerti akan kapasitas yang Allah berikan padanya, tapi juga memahami
betapa sejatinya ujian yang datang untuk memperbesar kapasitas kita.
Karenanya,
kita temukan orang-orang besar dalam perjalanan hidupnya ditimpa oleh ujian
yang juga besar. Semakin besar kapasitas seseorang, tentu saja dia memeroleh
peluang untuk memberi manfaat yang juga besar dan luas. Dari sini, kita akan
memahami mengapa Para Nabi mendapat ujian yang sangat berat dalam hidupnya.
Mereka semua pemimpin umat, perlu menyerap, menghayati, dan menyelami
penderitaan umat.
Dikala
memberikan resep agar bisa bersabar, ridha, dan syukur, bukan sekadar kalimat
pemanis, melainkan menjadi pengalaman nyata dalam hidupnya. Sebelum menjadi
“dokter” ruhani bagi manusia, mereka telah menjadikan dirinya sendiri sebagai
laboratorium. Menyelesaikan masalah seseorang bukan berdasarkan teori saja,
tapi berpaduan antara teori dan pengalaman hidup yang dijalani. Mereka datang
membawa ayat-ayat qauliyah—tertulis di kitab-kitab samawi—tapi (kehidupan)
mereka sendiri berupa ayat bisa menjadi cerminan bagi kehidupan orang lain.
Dari
situ, kita bisa memahami mengapa pengalaman bisa menjadi guru terbaik? Karena merasakan,
pengetahuan akan terasa hampa. Masih menyisakan pertanyaan, benarkah? Tapi
setelah mengalami sendiri, maka pengetahuan itu telah mengendap menjadi “rasa”
yang terpahat dalam hati. Takkan bisa dilupakan.
Musibah
Membuat orang Matang
Hidup
yang lempeng-lempeng saja, datar-datar saja, tidak ada jalan menanjak dan
berkelok yang dilewati, tentu saja membuat orang mudah mengantuk. Kesadaran
tidak terjaga. Banyak orang justru mengalami kecelakaan, karena jalan yang
lempeng. Tidak ada tantangan yang dihadapi. Dikala kesulitan datang menerjang,
maka pikiran akan aktif, terus berpacu untuk mencari jalan keluar. Fisik pun
terus bergerak bagaimana bisa menerobos tantangan. Karena dibalik tantangan
yang menghadang ada kebahagiaan yang disediakan. Bukankah di setiap kesulitan
terbuka banyak sekali kemudahan. Bahwa dibalik setiap kepahitan, disediakan
banyak sekali kemanisan.
Dikala
orang berhasil menjalani serangkaian ujian dari Allah, maka hidupnya akan lebih
matang dan dewasa menghadapi berbagai tantangan ke depan. Dia akan berpelung
untuk survive menghadapi kenyataan walau semanakutkan apapun. Seseorang
pernah kehilangan suatu yang paling berharga dalam hidupnya, dia takkan
dihantui kecemasan kehilangan apapun. Tapi setiap orang yang belum pernah
mengalami kehilangan apapun, maka dia akan terus didera oleh kecemasan yang tak
berkesudahan. Bukankah manusia menjadi musuh dari apa yang tidak dia ketahui?
Kita
belajar pada ikan-ikan yang hidup di aquarium. Setiap hari, makannya terjamin.
Ia tak pernah kelaparan. Kebutuhannya tercukupi. Dia tak perlu berjuang keras
untuk mendapatkan makan. Akan tetapi, ketika ia dilemparkan ke lautan, maka dia
tak bisa bertahan dengan persaingan ketat yang terjadi di zona lautan. Bahkan
bisa jadi ia akan dijadikan santapan ikan yang lain.
Terpaan musibah yang datang silih berganti akan membentuk kematangan jiwa seseorang. Tidak mudah panik ketika masalah datang. Karena setiap masalah selalu membawa jalan keluar sekaligus inspirasi yang menyegarkan jiwa. Selain itu, kematangan jiwa membuat orang mudah beradaptasi dengan kenyataan. Dan hanya orang yang bisa menyesuaikan diri terhadap bermacam kenyataan, yang tidak mudah terkena efek disrupsi.




0 comments