Generasi Mudah Stress
06 October 2025
Di
suatu pengajian, ada seorang mengungkapkan kegelisahan tentang fenomena
generasi muda, yakni generasi Z, yang gampang sekali terpapar oleh stress dan
bahkan depresi. Fenomena ini jarang ditemui sebelumnya. Kira-kira ini fenomena
apa, dan tentu bagaimana agar generasi kita tidak mudah terjangkit stress dan
depresi?
Perlu
disadari bahwa tidak ada orang yang tidak terpapar stress. Karena stress
menandai orang sedang dihinggapi masalah. Bukankah masalah datang untuk
menaikkan kelas seseorang? Tentu saja membentuk kedewasaan jiwa. Stress juga
bisa disebut alarm pertumbuhan jiwa manusia, sehingga pada saatnya dia tidak
lagi mudah mengeluh, apalagi putus asa dengan masalah yang menyambar
bertubi-tubi.
Sakit mental berupa stress sama halnya dengan sakit fisik. Bisa saja mendatangi setiap orang. Tak selamanya, fisik kita mengalami stamina yang prima. Ada kalanya, harus lesu, bahkan sakit. Kadang sakit karena terpapar oleh matahari yang sangat panas. Kadang sehat, kadang juga sakit. Kondisi yang dialami oleh fisik. Apalagi yang dialami fisik, bisa saja dialami oleh mental kita.
Kadang
seseorang berada pada puncak semangat, namun tiba-tiba harus terjatuh dalam
keadaan lemah semangat. Ada orang yang menyerah dengan sakit yang diderita,
bahkan putus asa. Tapi, banyak juga yang bangkit dan menguatkan optimisme
keluar dari belenggu sakit yang diderita.
Hanya
saja, sikap terhadap stress itulah yang membedakan kualitas seseorang. Jika
salah menyikapi stress, maka stress akan membuat seseorang meluncur pada titik
terendah. Menemui kehancuran. Hampa dari harapan hidup. Sementara orang yang
menjadi stress sebagai tangga yang mengantarkan menuju puncak kesuksesan, maka
dia tidak membiarkan mendekam dalam stress. Karena stress dipandang sebagai challenge
untuk terus melintasi satu tanjakan ke tanjakan berikutnya. Bukankah ketika
orang telah berhasil melampaui stress, di ujung terbit kebahagiaan yang akan
menyapa?
Tak
sedikit, kita menemui fenomena generasi Z bukan hanya stress, tapi sampai pada
level depresi. Sehingga memerlukan penanganan yang lebih serius dan
komprehensif. Mengapa mereka kemudian harus jatuh ke jurang depresi?
Pertama,
hadir sebagai teman curhat. Siapapun kita yang berada di samping generasi muda
haruslah berperan sebagai teman berbagi, kawan sharing, dan sahabat
curhat yang nyaman dan aman bagi mereka. Karena saking sibuknya oleh aktivitas
yang kita jalani, kadang kita tak punya waktu untuk mendengarkan mereka. Jika
kegelisahan, ketakutan, dan kecemasan yang menghantui mereka tetap tidak
dilepaskan (release), maka kemudian akan menjadi bom waktu yang luar
biasa membahayakan.
Jika berperan sebagai orang tua, atau sebagai guru mereka, kita harus sempatkan untuk hadir dalam kehidupan mereka. Meyakinkan pada mereka bahwa mereka tidak sendirian. Di sampingnya ada orang yang siap memberikan semangat, kekuatan, bahkan pertolongan.
Mungkin Anda tidak usah langsung memberikan nasihat dan
saran atas kegelisahan, kecemasan, bahkan depresi yang dialami. Cukup Anda
hadir sebagai kawan berbagi, mereka sudah mendapatkan tempat berteduh yang
terbaik. Bukankah ketika curhat, setidaknya sudah mencairkan kebekuan masalah
yang menumpuk dalam hatinya. Ketika sudah dikeluarkan, tak jarang orang akan
kembali memulihkan jiwanya.
Tak
sedikit orang yang bisa membersihkan masalah yang tertampung di hatinya dengan
cara menangis. Selesai menangis, seolah masalah yang sedang membelenggunya
terurai dan mencair begitu saja.
Saya tak jarang mendapati orang yang meluapkan segala keadaan yang bergemuruh di hatinya. Dia menyampaikan semuanya hingga tuntas. Saya sendiri mencoba mendengarkan dengan empatik. Sembari saya menyela dengan cara mengulang dengan redaksi yang berbeda apa yang dia sampaikan.
Demi meyakinkan dia bahwa saya mendengar dan coba memahami apa yang sedang dialaminya. Saya sama sekali tidak menyampaikan nasihat padanya agar keluar dari masalah yang mengepungnya. Terus saja mendengarkan dengan empatik. Setelah dia mengeluarkan semua unek-unek yang memenuhi hatinya, dia sudah merasa lega.
Jika saya dimintai saran, saya
menyarankan dengan menyampaikan berbagai kisah nyata yang bisa dia ambil
sebagai pelajaran. Tanpa saya memberikan konsep-konsep langit. Karena ketika
menggunakan cerita nyata, akan terbit optimisme dalam dirinya. Dia menyadari
bahwa ada orang yang memiliki keadaan yang sama bahkan lebih dari dirinya, dan
kedua jika orang lain bisa keluar dari belenggu masalah, tentu dia yakin,
tinggal menunggu momen, juga akan keluar dari perangkap masalah itu.
Kedua, jangan biasa berada dalam kehidupan instan. Segalanya mudah didapatkan. Zaman digital, dimana generasi Z banyak mengakses pergaulan dunia maya, seolah kehidupan ini sangat mudah. Antara keinginan dan kenyataan seolah tidak ada spasi. Kita sedang mencari apa, segera kita temukan.
Kemudahan yang memapar
generasi muda, menjadikan mereka mudah sekali mengeluh ketika menghadapi
sedikit kesulitan dan tantangan. Karena ketika tak ada jarak antara harapan dan
kenyataan, biasanya seseorang tidak terlatih untuk bersabar. Padahal sabar
itulah yang menguatkan mental seseorang. Kesabaran membuat seseorang menggapai
resiliensi. Jika generasi dimamah oleh kemudahan, dikelilingi oleh fasilitas,
maka dia mudah sekali terluka dikala mengalami kesulitan.
Generasi
yang semuanya dicukupi, tanpa harus ada ikhtiar keras, seperti ikan yang
berenang di aquarium. Semua kebutuhannya dipenuhi. Tanpa harus berusaha keras.
Jika demikian, apa yang terjadi? Dia terus punya kebergantungan pada kondisi di
luar dirinya. Akibatnya, ketika ikan itu ditebar di lautan, maka ia tidak akan
kuat menghadapi tantangan hidup di arus lautan yang sangat sengit. Kita harus
memberikan kesempatan generasi kita untuk berusaha sendiri. Meyakinkan tidak
ada keberhasilan tanpa usaha yang keras. Ketika orang telah terbiasa berhadapan
dengan tantangan dan kesulitan hidup, ketika kelak dia menemui masalah tidak
mudah mengalami shock, bahkan akan selalu tenang. Dalam ketenangan
itulah kekuatan jiwa tecermin.
Ketiga,
belajar menerima kenyataan. Kita sadar bahwa ada keadaan yang berada dalam
kontrol kita, tapi juga kenyataan yang berada di luar kendali kita. Pada
keadaan yang di dalam kendali, kita menyusun energi agar bisa menghasilkan
kondisi yang baik. Sementara pada keadaan yang di luar kendali, kita belajar
menerima dengan lapang dada. Yakni ridha. Adalah seorang anak dilahirkan dari
keluarga petani, sementara teman-temannya dilahirkan dari keluarga teknokrat
dan orang-orang kaya. Ketika dia membandingkan latar belakang dirinya dengan
latar belakang temannya, jiwanya merasa sangat rendah, dan minder. Ketika dia
terus mengutuk kenyataan yang dia alami, maka rasa sakit terus menerus mencacah
dirinya.
Perlu
disadari bahwa semua yang meluncur di medan kehidupan ini sudah dirancang,
diramu, dan dikemas dengan sempurna oleh Allah. Tidak ada yang kurang. Kalau
kita melihat kekurangan, bukan kenyataan yang kurang. Tapi pemahaman kita yang
kurang lagi terbatas. Bukankah kebanyakan di antara kita berhenti pada kemasan,
tanpa harus meneliti terlebih dahulu isinya. Jika kemasannya buruk, kita anggap
isinya juga buruk. Sebaliknya, jika kemasannya apik dan menarik, isinya juga
dianggapnya baik dan apik. Padahal, belum tentu.
Disadarkan
pada generasi muda bahwa yang terjadi adalah yang terbaik. Kenapa? Karena
seluruh realitas yang tergelar di hadapan kita berasal dari Yang Maha Baik.
Tidak ada yang keluar dari Yang Maha Baik kecuali kebaikan saja. Bukan hanya
baik, pasti di sana tersimpan pelajaran yang agung. Karena Allah telah meramu
semua kenyataan itu dengan ilmu-Nya.
Agar tidak terjebak pada stress yang berlangsung terus-menerus, apalagi membesar menjadi depresi, maka kita harus hadir sebagai teman berbagi bagi mereka, selalu menghadirkan tantangan agar terus tumbuh dan kuat, dan yang terakhir harus dihadirkan energi spiritual pada mereka agar mereka bisa menerima kenyataan apapun yang datang.
0 comments