Pesantren dan Tarekat
21 October 2025
Ketika
masuk pesantren, saya merasakan seolah memasuki relung agama. Disanalah, kita
bisa menyerap intisari dan mutiara-mutiara agama. Selain disuguhi bermacam-macam
ilmu, kita juga disodori bagaimana kehidupan pesantren yang disangga agar bertahan
dengan segala keterbatasan yang mengitari. Disana kita belajar tentang
resiliensi. Meski kiriman orang tua tidak seperti yang diharapkan, maka disana
tetap tangguh, tak boleh gampang mengeluh, mencari cara bagaimana kehidupan terus
berjalan. Semuanya ditanggung sendiri, tanpa harus berharap, apalagi bergantung
pada orang yang berada di sekitarnya. Ikhtiar untuk bisa survive sudah
teruji bagi santri. Sehingga mereka, ketika sudah disebar di masyarakat, selalu
memiliki cara untuk bisa bertahan. Tidak mudah putus asa dengan persoalan
sebesar apapun.
Pesantren
jadi tempat penggemblengan santri secara utuh. Tak hanya otaknya yang diisi
dengan ilmu, hatinya dibersihkan, dan ruhaninya diliputi kesadaran Ilahi, tapi
juga fisiknya dilatih agar kokoh. Karena itu, di pesantren juga diadakan pencak
silat. Diharapkan setelah keluar dari pesantren, santri bisa berkiprah di
masyarakat. Pesantren bukan hanya menyiapkan orang agar tahu agama, tapi juga
bagaimana bisa tampil sebagai pemimpin umat, bisa berkontribusi yang terbaik
bagi umat. Bukankah tujuan inti dari kehidupan ini adalah bagaimana menyebarkan
kebahagiaan bagi sesama? Makin luas manfaat yang disebarkan, makin meningkat
kebahagiaan yang dirasakan.
Tentu
banyak lesson yang diserap dari pesantren. Saya berusaha memotret dari
sisi tarekat. Pesantren menjadi laboratorium excellent untuk mengembangkan
tarekat. Santri telah menjalani tarekat tanpa harus menggunakan label-label
tarekat. Disana tentu dituntun bagaimana seseorang mengenal Allah. Tujuan Allah
menciptakan manusia tidak ada lain kecuali makrifat pada Allah. Makrifat inilah
sumber kebahagiaan. Karena dengan makrifat, seseorang akan selalu terhubung
dengan Allah.
Apa
saja pendidikan yang dikembangkan di pesantren yang punya korelasi dengan
tarekat?
Taklim
Ilmu
seperti akar yang mendasari setiap amal. Karena tanpa ilmu, amal tidak ada
nilainya. Ilmu bermanfaat untuk membentuk mindset, memperbaiki sudut pandang,
bahkan merancang tujuan. Mencari ilmu bukan asal ilmu, tapi ilmu yang memiliki
mata rantai sampai pada Rasulullah Saw. Dengan demikian, ilmu yang dipelajari
tidak hanya mengisi ruang intelektual dengan ilmu pengetahuan, tapi juga
mengisi ruang spiritual dengan cahaya ilahi. Menjadi ilmu yang menggerakkan
kita untuk beramal. Tidak menjadi sia-sia, melainkan memberikan berkah.
Terkait
taklim, maka agama sangat menghormati dan memuliakan orang yang berilmu. Bahkan
siapa yang memuliakan orang berilmu sama dengan memuliakan Rasulullah Saw.
Siapa yang memuliakan Rasulullah sama dengan memuliakan Allah Swt. Dan
disebutkan, siapa yang berada di majelis seorang ulama sama halnya dengan
berada di majelis Rasulullah Saw. Tentu masih banyak manfaat yang bisa diakses
ketika orang menimba ilmu pada seorang ulama. Barangsiapa siapa yang menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka Allah mudahkan jalan menuju surga.
Kalau
merujuk pada kitab Taklim Muta’allim, terkait dengan kedudukan guru, sungguh
sangat dimuliakan. Mengutip pada perkataan dari Sayyidina Ali K.w, siapa yang
mengajarkanku satu huruf, maka aku akan menjadi budaknya. Tentu ini landasan
yang dipakai oleh seorang murid, bukan seorang guru. Karena takdimnya murid
pada seorang guru memudahkan seorang murid untuk mengambil keberkahan dari ilmu
yang dia akses.
Dengan
mengakses ilmu terus-menerus, maka kebodohan akan terhampas dari pikiran.
Ketika awan kebodohan telah tersingkap, maka orang akan mengenali siapa
dirinya, mengenali siapa Tuhannya, dan mengenali apa tujuan sejatinya. Bukankah
dengan mengerti tujuan, hidup kita akan mudah terarah. Sepelan apapun kita
melangkah, tapi kita menyadari dan mengenali tujuan sejati, maka kita akan
terus bergerak kesana. Dan tidak ada tujuan yang terproyeksi di relung
kesadaran kecuali bagaimana memeroleh ridha Allah.
Tazkiyah
Sungguh takziyah atau penyucian hati merupakan langkah utama yang harus dijalani agar kita memeroleh puncak tujuan, yakni kebahagiaan. Tanpa kesucian hati, maka sejatinya orang belum bergerak kemana-mana. Langkah pertama mensucikan hati dengan bertobat. Tanpa bertobat orang tidak melakukan perjalanan. Tobat memperbaharui niat, memperbaharui jalan, bahkan telah memastikan tujuan yang sejati yakni Allah.
Kedudukan tobat bagi maqam keruhanian digambarkan seperti
kedudukan tanah bagi bangunan. Bagaimana mungkin kau bisa mendirikan bangunan
tanpa tersedianya tanah? Begitu juga, bagaimana kau bisa meraih ketakwaan tanpa
disertai tobat terlebih dahulu. Tobat tidak hanya dianjurkan bagi orang yang
jauh dari Allah. Orang yang telah menggapai iman yang kokoh pada Allah masih
tetap dianjurkan untuk bertobat pada Allah. Karena melalui tobat, seseorang
akan mendulang kebahagiaan sejati dalam hidupnya.
Selain
tobat, dilanjutkan dengan proses mujahadah yang ketat. Berbincang mujahadah,
maka gambaran kita mengandung empat komposisi atau rukun mujahadah.
Pertama, melek. Agar kita bisa menggapai kebangunan ruhani, maka kita harus membiasakan terjaga. Perlahan-lahan mengurangi tidur. Mengapa harus mengurangi tidur? Tidur identik kebiasaan dengan benda mati. Benda mati itu tidak menyadari dirinya, juga tidak menyadari apa yang ada di luar dirinya. Seperti meja, ia tidak menyadari dirinya, juga tidak menyadari di luar dirinya. Karena itu, tidur, disebut, menyerupai kematian. Agar batin terjaga, maka kita mencoba bangun di tengah malam untuk tawajjuh pada Allah melalui shalat tahajud.
Jika orang telah
terhubung dalam cinta dengan Allah, maka dia akan senantiasa mendirikan tahajud
dengan disertai kerinduan yang mendalam pada Allah. Tahajud menjadi salah satu
amalan yang tak ditinggalkan di pondok pesantren. Seraya berharap hatinya dalam
keadaan terjaga, terhindar dari kelalaian. Bukankah dengan keterjagaan batin,
kita akan senantiasa terhubung dengan Allah. Dan konektivitas jiwa dengan Allah
menjadi sumber ketenangan.
Kedua, luwe. Agar kita tidak tertimbun dan terbelenggu dengan kebiasaan tanaman atau pepohonan yang makan minum saja, maka kita kurangi makan minum dengan puasa. Ketika orang mengurangi makan-minum, maka perutnya akan mudah sekali dialiri cahaya Ilahi. Berpuasa bukan hanya sebatas membuat orang mendapatkan kesehatan secara fisik, bahkan ruhani pun akan sehat. Dengan mengurangi makan minum, manusia akan mulai menjaga jarak dengan kehidupan dunia.
Setidaknya terlalu
melekat dengan kehidupan dunia. Bukankah kecintaan pada dunia sebagai biang
seseorang terdorong melakukan kesalahan? Jika cinta dunia telah menguap dari
hati, maka cinta pada Allah akan memasuki hati kita. Dan tahukah siapa yang
paling sering membuat kita kecewa? Yang sering membuat kita kecewa adalah
sesuatu yang paling kita cintai. Iya, semua cinta berpeluang mengundang
kekecewaan, kecuali cinta pada Allah dan Rasulullah Saw.
Ketiga, dewe. Kita sedang berada di dalam kegaduhan. Entah kegaduhan yang berasal dari luar. Kita menyadari setiap hari kita disuguhi peristiwa yang susul-menyusul tiada henti. Bukan hanya kebisingan yang berasal dari luar, tapi juga kebisingan di dalam tak kalah hebat hembusannya. Biasanya berasal dari banyaknya keinginan yang susul-menyusul. Biasanya setiap keinginan memancing kita untuk berpikir dan terus berpikir. Bahkan, kendati badan sudah tidur, pikiran itu seperti terus terbawa dalam mimpi.
Karena itu, kita berusaha
menekankan untuk menyendiri. Dalam kesendirian itu diisi dengan zikir dan
tafakur. Karena melalui kedua aktivitas hati akan menjadi bersih, dan cahaya
akan terbit. Tak jarang, ketika orang sedang tafakur, tiba-tiba didatangi
pemikiran yang segar, menyentuh, dan memuaskan jiwa. Bahwa tanda orang telah
diakui sebagai murid, ketika dia sudah senang menyendiri. Menyendiri agar
jiwanya selalu terhubung dengan Allah melalui zikir dan tafakur. Tak jarang,
seorang santri mendekam di kamar hanya untuk menyelesaikan bacaan buku.
Sehingga memperkaya jiwanya. Kadang di antara mereka bersunyi-sunyi untuk
menyelesaikan sebuah tulisan.
Menyendiri
yang disertai dengan zikir dan uzlah akan memudahkan kita untuk menjaring makna,
pemahaman mendalam, serta pencerahan dari setiap kenyataan yang tergelar di
hadapan kita. Bukan hanya itu, setiap kenyataan yang hadir senantiasa kita
nisbatkan pada Allah.
Keempat,
meneng. Tidak banyak berkata kecuali jika benar-benar penting dan punya
manfaat. Karena berbicara sia-sia hanya akan menguras cahaya dari dalam hati.
Kita memastikan bahwa ucapan yang kita sampaikan mengandung zikrullah.
Mengantarkan kita makin ingat pada Allah. Membiasakan diri diam akan
mendatangkan cahaya hikmah ke dalam dada. “Apabila kau melihat seorang
laki-laki sungguh datang dalam keadaan diam dan zuhud, maka dekatilah dia
karena sesungguhnya dia dituangi hikmah”.
Mengapa
kita diam? Diam sebagai cara untuk mengaktivasi zikir dan tafakur. Ketika
kebiasaan zikir dan tafakkur telah mengisi keseharian kita, maka hati akan akan
diisi dengan ilmu dan hikmah.
Suhbah
Suhbah
lebih dekat dengan upaya pelayanan atau pengabdian yang tulus. Tanpa pamrih.
Biasanya, di dalam tarekat, selain taklim, menjalani mujahadah dengan keras,
seorang murid juga dianjurkan untuk berkhidmat. Berkhidmat pada siapa saja.
Anda bisa berkhidmat pada sesama murid, berkhidmat kepada orang tua, juga
berkhidmat pada guru. Khidmat bukan tujuan, tapi sebagai sarana untuk mengikis
keakuan. Mengapa khidmat efektif menggerus keakuan? Karena khidmat menjadi
upaya untuk membelakangi diri menghadap pada yang dilayani. Pada ujungnya, akan
menyadari bahwa ketika kita melayani manusia sejatinya kita melayani Allah.
Dalam
konteks taraket, kita dianjurkan berkhidmat pada guru. Dengan melayani guru
dengan ikhlas tanpa pamrih, maka pada saatnya guru akan ridha pada Anda. Ketika
guru ridha pada Anda, maka Anda tersambung dengan gurunya guru yang punya mata
rantai sampai pada Rasulullah Saw. Ketika ridha guru Anda dapatkan, berarti
Anda mendapatkan ridha Rasulullah. Jika telah menggapai ridha Rasulullah, maka
Anda telah meraih ridha Allah Swt. Dengan ridha Allah Anda peroleh, maka
kehidupan Anda dilimpahi keberkahan. Mungkin ilmu yang Anda dapatkan sedikit,
tapi full impact bagi orang lain.
Dengan taklim, Anda bisa menyingkap kebodohan, sehingga Anda bisa menggapai selamat. Dengan tazkiyah, Anda bisa menyingkap kuasa hawa nafsu, sehingga terbit cinta dan Anda mendapatkan rahmat. Dengan suhbah, Anda bisa mengikis keakuan, dan Anda mendapatkan sekaligus berkah bagi kehidupan. Itulah tujuan inti yang didambakan dari kurikulum yang dikembangkan oleh pesantren.
0 comments