-->

Berjuang untuk Berserah Diri

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Berjuang untuk Berserah Diri

24 November 2025

Berjuang untuk Berserah Diri

24 November 2025


Ketika pikiran dan hawa nafsu belum menguasai manusia, maka dia berada dalam zona berserah diri total pada Allah. Dari dirinya tidak ada pilihan, karena dia telah menyatu dengan pilihan Allah. Jauh sebelum manusia dilahirkan, hanya sebatas ruhani saja, maka kondisi itu membawa manusia dalam keadaan super bahagia. Mengapa demikian? Karena ketika itu manusia dalam keadaan berserah diri total pada Allah. Telah menyatu dengan pilihan Allah. Karena benar-benar merasakan kasih sayang Allah yang terus meliputi dirinya. 

Kondisi ini berlanjut sampai kondisi masih bayi. Bayi tak punya keinginan dan pilihan sama sekali. Karena tak punya pilihan itulah, bayi sangat bahagia menjalani kehidupan. Bahkan, bayi menangis saja sudah cukup menggerakkan seisi rumah. Dia tak menjelaskan apa yang dibutuhkan, tapi semua orang datang untuk memenuhi kebutuhannya. Dari peristiwa nyata itu menunjukkan bahwa sosok yang berserah diri punya kekuatan menggerakkan banyak orang. Yakinlah bahwa orang yang berserah diri telah memasuki istana jaminan Allah Swt.

Seiring pertumbuhan fisik, kognitif, dan psikomotorik, manusia sudah punya keinginan sekaligus pilihan. Ketika sudah mengenal adanya keinginan dan pilihan inilah, manusia mulai membuat batas-batas kebahagiaan. Bahkan kebahagiaan selalu diidentikkan dengan terpenuhinya keinginan. Padahal, kalau mau dipahami secara seksama, justru karena menyeruaknya keinginan itulah membuat orang seperti terkurung dalam penderitaan. Timbulnya keinginan memungkinkan orang berbenturan dengan kehendak Allah. Dan hanya ketika seseorang berbenturan dengan keinginan Allah, maka kebahagiaan akan lepas darinya. Karena kebahagiaan hanya diraih ketika seseorang telah membentuk harmoni dengan Allah.

Apa orang tidak boleh punya keinginan? Tentu saja boleh. Yang tidak boleh, ketika manusia telah dikendalikan oleh keinginan. Memang, keinginan itu penting untuk membawa kehidupan ini mengalami kemajuan. Bayangkan, kita sampai pada peradaban sekarang ini dipicu oleh karenanya adanya keinginan. Jika manusia bersikap menerima secara totalitas keadaan yang sedang berjalan kemarin, mungkin kita tidak akan pernah mengalami transformasi peradaban. Kita mungkin tetap berada di zaman PC pentium 1. Karena didongkrak oleh keinginan, kini kita sedang menikmati Core i Seven dengan kecepatan jauh lebih tinggi dan lebih canggih. Tugas kita hanya bagaimana mengarahkan agar hawa nafsu yang biasanya condong memenuhi diri sendiri agar digeser untuk memberi manfaat pada sesama.

Nafsu—mungkin—tergerak untuk memiliki kekuasaan. Bagaimana bisa menjadi pengawal, pemimpin, dan pemuka sebuah golongan. Kehadirannya bisa meluaskan pengaruh. Semakin besar pengaruh, tentu saja kedudukannya makin berkibar di masyarakat. Tentu saja tak ada larangan untuk berkuasa. Hanya saja, bagaimana kekuasaan yang diraih tidak untuk memenuhi keuntungan pribadi, tapi kekuasaannya memberikan pengaruh positif bagi masyarakat lebih luas. 

Saya mendapati jalan-jalan banyak yang berlubang, sehingga rawan terjadi kecelakaan. Kalau saya berkuasa, saya akan memugar jalan itu agar mulus. Seluruh pengendara yang berlalu lalang di jalanan itu merasa nyaman dan aman. Jika banyak petani mengeluhkan irigasi, maka dia bertekad kelak jika jadi pemimpin akan memperbaiki irigasi bagi para petani. Intinya, keinginan berkuasa tidak dilarang selagi didasari dengan niat untuk memberi manfaat bagi sesama. Atau mungkin, dia sedih dengan sangat sempitnya lapangan kerja, dan makin meledaknya pengangguran dimana-mana. 

Bersamaan dengan meningkatnya pengangguran, melonjak pula tingkat kriminalitas. Dia bertekad untuk jadi pemimpin, mengubah kenyataan yang gelap menjadi terang. Pengangguran bisa ditekan pada titik yang sangat minim. Ketika keinginan untuk berkuasa, dan menindas orang lain, melalui kekuasaannya telah menyeruak, dia segera menekan. Dia kembali pada niat atau tekad awal, bahwa kepemimpinannya bertujuan untuk membawa kemaslahatan bagi umat. Bagi kemaslahatan untuk dirinya sendiri.

Mungkin diam-diam tumbuh keinginan pada dirimu untuk menjadi orang kaya. Tidak mengapa Anda menjadi orang kaya. Tapi niat selalu diarahkan bahwa kekayaan bukan untuk memenuhi diri sendiri, melainkan bagaimana bisa melebarkan manfaat bagi sesama. Inginkan menjadi orang kaya, agar bisa menjaga harga diri dari meminta-minta. Selanjutnya, dengan kekayaan yang dimiliki bisa membantu sebanyak mungkin orang. Mengentaskan kemiskinan, terutama masyarakat terdekat.

Tentu saja Allah lebih menyukai orang mukmin yang kuat dibandingkan orang mukmin yang lemah. Allah tentu saja lebih menyukai kekayaan berada di tangan orang sholeh sehingga memberi dampak kebaikan pada banyak orang. Dibandingkan kekayaan berada di tangan orang jahat. Karena jika kekayaan berada di tangan orang jahat, maka yang kejahatan akan lebih mudah terfasilitasi untuk eksis dan menyebar. Kalau kekayaan berada di tangan orang sholeh, maka kebaikan akan mudah menyebar karena fasilitasnya yang tersedia.

Dari paparan di atas, Islam tidak melarang kita menjadi penguasa. Asalkan penguasa yang membawa dampak kemaslahatan pada umat. Bagaimana Sayyidina Umar bin Abdul Aziz telah menggapai kejayaan yang gemilang dalam kepemimpinannya. Beliau tetap menjaga zuhud dan wara dalam kepemimpinannya. Beliau muncul sebagai pemimpin pembaharu di zamannya. Hingga saat ini, namanya tetap harum di hati orang-orang beriman.

Kita juga mengenal Sayyidina Ustman bin Affan yang muncul sebagai orang yang kaya raya. Namun kekayaannya dijadikan jalan untuk berkhidmat pada agama. Dengan kekayaannya membuat namanya harum. Karena kekayaan tidak membawanya pada jurang penderitaan, melainkan mengantarkan pada istana kebahagiaan.

Kau boleh punya keinginan, tapi keinginan itu harus dikaitkan pada Allah dengan rasa takut. Jangan sampai terpenuhinya keinginan kelak membuatnya makin berjarak dan jauh dengan Allah. Malah, segala tercapainya keinginan harus menjadi pemacu untuk makin membuat diri kian dekat pada Allah. Karena kebahagiaan tumbuh dalam kedekatan jiwa pada Allah.

Meski kita memiliki keinginan, kita harus sadar bahwa manusia tak bisa merealisasikan keinginan tanpa pertolongan dari Allah. Anda hanya punya keinginan, tapi tak boleh memaksakan keinginan agar terwujud. Kita terus memacu agar bisa meraih keinginan, tapi hati harus tetap disediakan kondisi ridha dengan setiap kenyataan yang tergelar. Boleh jadi permukaan bergelombang, tapi di kedalaman harus sangat teduh. Teduh bersama Allah. Kita akan bisa membawa hati tenang meski sedang berjuang dan bekerja keras untuk mewujudkan keinginan ketika kita menyadari bahwa segalanya tergelar hanya dengan kehendak Allah. Sebesar apapun tekad kita tidak akan pernah sanggup menembus tirai takdir. 

Kita hanya menyadari manusia bisa berencana, menjalani tahap-tahap rencana yang telah dirancang, tapi keberhasilan bukan domain manusia. Itu adalah domain Allah. Sebuah kalimat yang selalu menghunjam kuat di relung kesadaran saya, “Anda punya rencana, orang lain juga punya rencana, dan Allah punya rencana. Dan hanya Allah yang Maha Mengeksekusi apa yang Dia kehendaki”. Keinginan kita sudah barang tentu tidak terealisasi tanpa disertai kehendak Allah. Karena itu, setiap kehendak sejatinya adalah kehendak Allah.

Ketika kita sudah mengenal perkara ini, maka secara lahiriah kita berusaha keras mengejar mimpi menjadi kenyataan. Sementara secara batin, kita benar-benar membenamkan diri kuat-kuat dalam penyerahan diri total pada Allah. Dengan demikian, segala kenyataan luaran yang terus berubah, bahkan membadai sama sekali tidak mengubah keadaan batin yang tenang. Batin selalu tenang karena senantiasa berada dalam penyerahan diri secara utuh pada Allah.

Bahkan, ketika orang berada dalam penyerahan diri total kepada Allah, maka dia tak lagi melihat atribut, eksistensi yang melekat pada dirinya. Dia hanya menyaksikan semua adalah kehadiran-Nya. Dia boleh berkeinginan, tapi merasa keinginan itu berasal dari Allah. Dia boleh melaksanakan apa yang diinginkan, tapi merasa bahwa perbuatan itu dari Allah. Dan boleh dia menggapai apa yang dia inginkan, tapi hatinya merasa bahwa keberhasilan itu adalah dari Allah. Sehingga tak ada ruang untuk mengklaim sebagai hasil dari dirinya. Bagaimana dia mengklaim hasil dari dirinya, kalau dirinya sendiri tidak ada. Yang ada hanya Yang Maha Ada. Allah Swt.

Dikala orang telah berada dalam lautan penyerahan diri pada Allah, maka dia akan mereguk rasa agama. Kedamaian yang tak terukir. Kebahagiaan yang bermekaran. Rasa puas yang meluap-luap. Karena memandang dirinya hanya sekadar tempat tajalli dari af’al, asma’, sifat, bahkan Zat Allah. Tak ada yang ada kecuali Dia.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang