-->

Kenapa Patah Hati?

BLANTERLANDINGv101
7702235815698850174

Kenapa Patah Hati?

11 November 2025

Kenapa Patah Hati?

11 November 2025


Tidak ada yang menginginkan patah hati. Karena patah hati itu sangat menyakitkan. Membuat orang terbelenggu dalam penderitaan. Padahal, Allah tidak menghendaki seluruh makhluk kecuali dalam keadaan bahagia. Kebahagiaan itu hanya didapatkan selagi orang selalu mengaitkan dirinya pada Allah. Sedari alam ruh, manusia hanya memiliki satu relasi yang bersifat primordial dan eternal, yakni hubungan dengan Allah Swt. Berarti sedari awal, ruh menyadari bahwa hubungan manusia hanya dengan Allah, sehingga kenikmatan hanya diperoleh ketika bersandar pada Allah.

Kelahiran menjadi awal mula manusia sedang berjarak dengan Allah. Dia telah memasuki kehidupan jasmani, materi, dan segala fatamorgana yang tergelar dalam kehidupan ini. Pada mulanya, tatkala dilahirkan ke dunia, manusia mengalami cultural shock (keterkejutan kultural). Dia—merasa—sedang dijauhkan dari Allah Swt. Memasuki alam yang paling rendah, yang kemudian disebut dunia. Manusia—masih berupa bayi—mengalami keterkejutan ditandai dengan tangisan yang menghentak. 

Tangisan membuka kebahagiaan bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Tapi bayi sendiri, di kesadaran terdalam, ada kesedihan yang menjalar karena dipisahkan dari Allah. Kenikmatan intim telah hilang darinya. Dari situ, ada kesadaran terdalam, kebahagiaan hanya didapatkan dikala jiwa seseorang senantiasa terhubung dengan Allah. Dekat pada Allah. Bersandar dan berharap kepada-Nya saja. Tidak pada yang lain.

Karena telah bergumul dengan kehidupan dunia, terikat dalam hukum sebab akibat, kita menyaksikan strata sosial. Timbul saling kebergantungan. Memang, kita dibangun dengan semangat saling bergantung. Bahkan, secara rasional, manusia tidak bisa hidup sendirian. Membutuhkan bantuan dari orang lain. Demi menikmati makan, misalnya, kita membutuhkan ribuan bahkan jutaan tenaga agar makanan itu sampai di hadapan kita. 

Bayangkan, kita butuh beras, tentu saja butuh petani padi. Setelah panen, padi harus siap diselip. Ketika diselip tentu saja butuh mesin selip. Bayangkan, untuk membuat mesin selip itu kira-kira melibatkan berapa orang. Setelah diselip, maka jadilah beras. Kemudian dibeli oleh tengkulak disertai karyawan yang membantunya. Kemudian dikirimkan melalui truk menuju kota-kota besar. Kira-kira, berapa orang yang harus terlibat untuk pembuatan truk? Ketika sudah tiba di grosir, kembali didistribusikan ke toko-toko kecil. Sampai kemudian dimasak, dan terhidang di hadapan kita. Itu hanya berasnya saja. Bagaimana dengan ikannya? Tentu kita tak bisa menghitung berapa orang yang telah terlibat dalam proses sampainya makanan di depan meja kita.

Dari gambaran tersebut, kita bisa memahami bahwa manusia dijalin dalam kondisi saling bergantung satu sama lain. Akan tetapi, kebergantungan ini jangan sampai masuk ke hati. Hati hanya bersandar pada Allah. Memang secara lahiriah, kita membangun mata rantai tolong-menolong satu sama lain. Akan tetapi, secara batin, kita selalu menyadari bahwa semua yang kita dapatkan berasal dari Allah. 

Sementara manusia hanyalah saluran yang Allah ciptakan untuk menyampaikan nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Sebaik apapun manusia, jangan pernah membuatmu berpaling dari Allah. Karena yang mengantarkan manusia yang baik di hadapan kita, sejatinya, adalah Allah.

Hanya saja, terkadang ke-Maha Kuasa-an Allah sekaligus menyadarkan bahwa Allah satu-satunya tempat bergantung, kadang terhapus dari pikiran. Karena sudah terbelenggu oleh pandangan kasat mata bahwa semua kenyataan hadir karena pertolongan manusia. Tanpa pertolongan manusia, apapun tidak akan terjadi. Dikala kita terus mendapatkan curahan kebaikan berkali-kali dari manusia, maka pelan-pelan timbul kebergantungan padanya. 

Makin kuat kebergantungan pada manusia sama sekali tidak membawa pada rasa damai. Malah diam-diam merambat perasaan cemas, jika orang yang kita jadikan tempat bergantung ternyata tidak memenuhi obsesi kita. Bagaimana kalau hatinya berubah? Atau bagaimana jika dia meninggalkan kita?

Makin kuat kita bergantung pada makhluk, maka kita akan menemukan sebuah fase makhluk itu akan menjelma menjadi sosok yang meninggalkan perih, pedih, dan luka yang dalam di hati. Jika harapan yang telah disandarkan tak terwujud, maka menyembur berbagai bentuk kekecewaan. 

Sadarilah, ketika Anda menautkan harapan pada makhluk, maka itu serupa dengan Anda memegang sebuah tali yang rapuh. Ketika tali itu putus, maka tentu saja Anda merasa sedih hati. Patah hati. Membentuk cekungan luka dalam hati kita. Dan makin fokus kita pada manusia, dalam bentuk kekecewaan yang terus diingat, maka bukan membuat luka itu menjadi sembuh, malah tambah menganga.

Dikala Anda dikecewakan oleh perbuatan orang lain, seyogyanya menjadi pintu masuk bagi Anda agar memutus harapan pada makhluk. Sadarilah, bukan hanya kita yang tak bisa mewujudkan semua keinginan dan kebutuhan kita secara pasti. Semua orang tidak memiliki kewenangan untuk mewujudkan harapannya menjadi kenyataan. Jika memenuhi harapan sendiri saja tidak sanggup, lantas bagaimana orang bisa memenuhi harapan orang lain. Pengendali semua kenyataan yang hadir adalah Allah.

Jika tahu bahwa yang sanggup mewujudkan harapan menjadi kenyataan hanya Allah, mengapa kita tidak berharap hanya pada Allah. Andaikan kita menyandarkan harapan pada Allah, sebelum harapan kita tergenapi, hati kita sudah berada dalam posisi sakinah, tenang bersama Allah. Seperti halnya seorang anak yang didampingi oleh kedua orang tua, selalu ada ketenangan yang menyusupi hatinya. Mengapa? Karena kedua orang tua yang sangat menyayanginya akan senantiasa ada bersamanya.

Selagi hati selalu bersama Allah, jika apa yang diinginkan belum tercapai, Allah akan mengisi hatinya dengan hikmah. Dia bisa memetik pelajaran pada kenyataan tersebut. Dikala dibukakan hikmah bagi seseorang, maka dia telah memperoleh yang banyak. Dan ketika harapan tergenapi, sama sekali tidak membuatnya dirinya merasa terbang, berlaku sombong. Akan tetapi, dia merendah sembari menyadari semua pencapaian sebagai bentuk karunia dari Allah. Secara lahir, dia merasa senang. Karena keinginan terpenuhinya. Sementara secara batin, kepuasan mengaliri hatinya karena merasa mendapatkan rahmat berlimpah dari Allah.

Sekali lagi, jika Anda tak ingin dipapar patah hati, jangan sekali-kali mengaitkan diri atau berpegang pada tali yang rapuh. Karena orang yang bersandar pada makhluk, seperti orang berpegang pada tali yang rapuh. Tentu saja, gampang putus. Tapi siapa yang bergantung pada Allah, maka kita akan mendapatkan kekuatan tak terduga yang akan menyampaikan kita pada posisi yang kita harapkan, menyingkirkan segala hal yang kita cemaskan.

BLANTERLANDINGv101

Berlangganan Gratis

Suka dengan artikel-artikel diblog ini dan merasa mendapatkan manfaat? Bisa isi form di bawah ini.
Isi Form Berlangganan
Formulir Kontak Whatsapp×
Data Anda
Data Lainnya
Kirim Sekarang