Kenapa Patah Hati?
11 November 2025
Tidak ada
yang menginginkan patah hati. Karena patah hati itu sangat menyakitkan. Membuat
orang terbelenggu dalam penderitaan. Padahal, Allah tidak menghendaki seluruh
makhluk kecuali dalam keadaan bahagia. Kebahagiaan itu hanya didapatkan selagi
orang selalu mengaitkan dirinya pada Allah. Sedari alam ruh, manusia hanya
memiliki satu relasi yang bersifat primordial dan eternal, yakni hubungan
dengan Allah Swt. Berarti sedari awal, ruh menyadari bahwa hubungan manusia
hanya dengan Allah, sehingga kenikmatan hanya diperoleh ketika bersandar pada
Allah.
Kelahiran menjadi awal mula manusia sedang berjarak dengan Allah. Dia telah memasuki kehidupan jasmani, materi, dan segala fatamorgana yang tergelar dalam kehidupan ini. Pada mulanya, tatkala dilahirkan ke dunia, manusia mengalami cultural shock (keterkejutan kultural). Dia—merasa—sedang dijauhkan dari Allah Swt. Memasuki alam yang paling rendah, yang kemudian disebut dunia. Manusia—masih berupa bayi—mengalami keterkejutan ditandai dengan tangisan yang menghentak.
Tangisan membuka kebahagiaan bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Tapi bayi sendiri, di kesadaran terdalam, ada kesedihan yang menjalar karena
dipisahkan dari Allah. Kenikmatan intim telah hilang darinya. Dari situ, ada
kesadaran terdalam, kebahagiaan hanya didapatkan dikala jiwa seseorang
senantiasa terhubung dengan Allah. Dekat pada Allah. Bersandar dan berharap
kepada-Nya saja. Tidak pada yang lain.
Karena telah bergumul dengan kehidupan dunia, terikat dalam hukum sebab akibat, kita menyaksikan strata sosial. Timbul saling kebergantungan. Memang, kita dibangun dengan semangat saling bergantung. Bahkan, secara rasional, manusia tidak bisa hidup sendirian. Membutuhkan bantuan dari orang lain. Demi menikmati makan, misalnya, kita membutuhkan ribuan bahkan jutaan tenaga agar makanan itu sampai di hadapan kita.
Bayangkan, kita butuh beras, tentu saja butuh petani padi.
Setelah panen, padi harus siap diselip. Ketika diselip tentu saja butuh mesin
selip. Bayangkan, untuk membuat mesin selip itu kira-kira melibatkan berapa
orang. Setelah diselip, maka jadilah beras. Kemudian dibeli oleh tengkulak
disertai karyawan yang membantunya. Kemudian dikirimkan melalui truk menuju
kota-kota besar. Kira-kira, berapa orang yang harus terlibat untuk pembuatan
truk? Ketika sudah tiba di grosir, kembali didistribusikan ke toko-toko kecil.
Sampai kemudian dimasak, dan terhidang di hadapan kita. Itu hanya berasnya
saja. Bagaimana dengan ikannya? Tentu kita tak bisa menghitung berapa orang
yang telah terlibat dalam proses sampainya makanan di depan meja kita.
Dari gambaran tersebut, kita bisa memahami bahwa manusia dijalin dalam kondisi saling bergantung satu sama lain. Akan tetapi, kebergantungan ini jangan sampai masuk ke hati. Hati hanya bersandar pada Allah. Memang secara lahiriah, kita membangun mata rantai tolong-menolong satu sama lain. Akan tetapi, secara batin, kita selalu menyadari bahwa semua yang kita dapatkan berasal dari Allah.
Sementara manusia hanyalah saluran yang Allah ciptakan untuk menyampaikan
nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Sebaik apapun manusia, jangan pernah membuatmu
berpaling dari Allah. Karena yang mengantarkan manusia yang baik di hadapan
kita, sejatinya, adalah Allah.
Hanya saja, terkadang ke-Maha Kuasa-an Allah sekaligus menyadarkan bahwa Allah satu-satunya tempat bergantung, kadang terhapus dari pikiran. Karena sudah terbelenggu oleh pandangan kasat mata bahwa semua kenyataan hadir karena pertolongan manusia. Tanpa pertolongan manusia, apapun tidak akan terjadi. Dikala kita terus mendapatkan curahan kebaikan berkali-kali dari manusia, maka pelan-pelan timbul kebergantungan padanya.
Makin kuat kebergantungan pada manusia sama sekali
tidak membawa pada rasa damai. Malah diam-diam merambat perasaan cemas, jika
orang yang kita jadikan tempat bergantung ternyata tidak memenuhi obsesi kita. Bagaimana
kalau hatinya berubah? Atau bagaimana jika dia meninggalkan kita?
Makin kuat kita bergantung pada makhluk, maka kita akan menemukan sebuah fase makhluk itu akan menjelma menjadi sosok yang meninggalkan perih, pedih, dan luka yang dalam di hati. Jika harapan yang telah disandarkan tak terwujud, maka menyembur berbagai bentuk kekecewaan.
Sadarilah, ketika Anda menautkan harapan pada
makhluk, maka itu serupa dengan Anda memegang sebuah tali yang rapuh. Ketika
tali itu putus, maka tentu saja Anda merasa sedih hati. Patah hati. Membentuk
cekungan luka dalam hati kita. Dan makin fokus kita pada manusia, dalam bentuk
kekecewaan yang terus diingat, maka bukan membuat luka itu menjadi sembuh,
malah tambah menganga.
Dikala Anda
dikecewakan oleh perbuatan orang lain, seyogyanya menjadi pintu masuk bagi Anda
agar memutus harapan pada makhluk. Sadarilah, bukan hanya kita yang tak bisa
mewujudkan semua keinginan dan kebutuhan kita secara pasti. Semua orang tidak
memiliki kewenangan untuk mewujudkan harapannya menjadi kenyataan. Jika
memenuhi harapan sendiri saja tidak sanggup, lantas bagaimana orang bisa
memenuhi harapan orang lain. Pengendali semua kenyataan yang hadir adalah
Allah.
Jika tahu
bahwa yang sanggup mewujudkan harapan menjadi kenyataan hanya Allah, mengapa
kita tidak berharap hanya pada Allah. Andaikan kita menyandarkan harapan pada
Allah, sebelum harapan kita tergenapi, hati kita sudah berada dalam posisi
sakinah, tenang bersama Allah. Seperti halnya seorang anak yang didampingi oleh
kedua orang tua, selalu ada ketenangan yang menyusupi hatinya. Mengapa? Karena
kedua orang tua yang sangat menyayanginya akan senantiasa ada bersamanya.
Selagi hati
selalu bersama Allah, jika apa yang diinginkan belum tercapai, Allah akan
mengisi hatinya dengan hikmah. Dia bisa memetik pelajaran pada kenyataan
tersebut. Dikala dibukakan hikmah bagi seseorang, maka dia telah memperoleh
yang banyak. Dan ketika harapan tergenapi, sama sekali tidak membuatnya dirinya
merasa terbang, berlaku sombong. Akan tetapi, dia merendah sembari menyadari
semua pencapaian sebagai bentuk karunia dari Allah. Secara lahir, dia merasa
senang. Karena keinginan terpenuhinya. Sementara secara batin, kepuasan
mengaliri hatinya karena merasa mendapatkan rahmat berlimpah dari Allah.
Sekali lagi, jika Anda tak ingin dipapar patah hati, jangan sekali-kali mengaitkan diri atau berpegang pada tali yang rapuh. Karena orang yang bersandar pada makhluk, seperti orang berpegang pada tali yang rapuh. Tentu saja, gampang putus. Tapi siapa yang bergantung pada Allah, maka kita akan mendapatkan kekuatan tak terduga yang akan menyampaikan kita pada posisi yang kita harapkan, menyingkirkan segala hal yang kita cemaskan.


.png)
.png)

0 comments