The Power of Surrender
04 November 2025
Pada
mulanya, kita berpikir bahwa tanpa dipikirkan, tanpa diikhtiarkan, tanpa
dikerjakan, maka permasalahan akan berjalan di tempat. Tanpa jalan keluar. Kita
terus berpikir, mencari terobosan, dan mengambil langkah-langkah kreatif untuk menciptakan
perubahan. Manusia terus berproduksi untuk melejitkan peradaban yang lebih
memikat, disertai kemudahan yang terus tersaji dengan sangat cepat. Hanya saja,
semakin orang membiarkan kehidupannya dikawal oleh pikiran dan keinginan yang
terus tumbuh menjulang, manusia bukan bertambah bahagia, malah seperti tersudut
di ruang penderitaan yang tak bisa digambarkan. Kita seperti menemukan bangunan
yang memukau, tetapi ternyata dibangun dengan fondasi yang lemah, sehingga suatu
saat bisa saja menemui keruntuhan. Hanya diterpa sedikit saja masalah, langsung
ambruk. 
Kita
menyadari bahwa kenyataan yang tergelar di hadapan kita tak semuanya sejalan
dengan keinginan kita. Bahkan banyak sekali yang bertabrakan dengan keinginan.
Jika kita “berseteru” atau berselisih dengan kenyataan, sungguh betapa sering
kita membiarkan diri kita terus-menerus disakiti. Seperti halnya orang yang
sedang berlayar dengan menggunakan perahu. Tiba-tiba ombak datang menerjang.
Kalau, dia berusaha untuk menerjang ombak yang besar, bukan ombaknya yang
kalah, melainkan dirinya akan terpental bahkan digulung, lalu ditenggelamkan ke
dasar lautan. Tapi jika dia menyesuaikan diri, menghindar dari dari lamunan
ombak tersebut, mencari sisi yang aman dari terjangan, maka insya Allah dia
akan selamat. 
Sejak awal,
kita harus memiliki fondasi keyakinan bahwa kehidupan yang kita jalani sama
sekali bukan pilihan kita, melainkan pilihan Allah. Renungilah hal yang
mendasar dan sederhana, terkait hidup dan mati. Hidup tak pernah kita pesan
sebelumnya. Kematian pun tidak bisa kita order. Keduanya, sepenuhnya berada
dalam genggaman takdir Allah. Kita tak bisa memilih. 
Meski kita sadar bahwa hidup bukan pesanan, namun masih banyak manusia yang berpikir bahwa kehidupan ini adalah pilihan manusia. Berada dalam kendala dan kontrolnya. Apakah kita hidup dalam keadaan sengsara atau bahagia, lalu berpikir itu pilihan kita. Jika kehidupan yang kita jalani adalah pilihan kita, apakah orang yang terjebak dalam perbuatan kriminal adalah pilihan tanpa paksaan baginya? Jika mereka disuguhi pilihan, apakah mereka ingin hidup menjadi orang baik dan Anda akan mereguk bahagia, atau mereka akan menjadi orang jahat lalu akan menikmati penderitaan? Jika kedua pilihan ini ditawarkan, tentu orang akan memilih perkara yang membuatnya bahagia.
Namun, banyak diantara mereka sudah
mengetahui bahwa perbuatan yang dijalani akan membuahkan penderitaan dalam
hidupnya, namun mengapa mereka masih tetap saja menerjang batas-batas yang
Allah tetapkan? Bahkan tanpa hadirnya agama, fitrah manusia cukup dijadikan
kompas untuk menetapkan yang baik dan yang buruk. Bayangkan, tanpa harus
merujuk pada agama, orang yang mencuri sudah pasti dianggap buruk. Sementara
orang yang suka berbagi dianggap baik.
Saya sangat
terkesima dengan ayat berikut :
“Dan
Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihkan. Tidak ada bagi
mereka pilihan. Maha Suci dan Maha Tinggi dari apa yang mereka sekutukan”. (QS.
Al-Qasas: 68).  
Kita kadang
dipertontonkan oleh kondisi yang membuat kita tak ada celah untuk sombong.
Bagaimana ada sosok yang dulunya telah mengisi hari-harinya dengan amal
kebaikan, sehingga datang suatu keadaan yang membuatnya berubah secara drastis.
Dia meninggalkan segala bentuk amal kebaikan, lalu harus membiarkan
tercengkeram dalam perbuatan buruk. Kalau mau jujur terhadap dirinya sendiri,
tetap dia ingin selalu berada dalam zona kebaikan, karena disana kebahagiaan
bertumbuh. 
Kita pun
sering disuguhi kenyataan sebaliknya. Sosok yang hari-harinya dilewati dengan
berbuat jahat seolah tak ada kebaikan yang memancar darinya, sehingga datanglah
sebuah kenyataan yang membuatnya mengalami titik balik. Bertobat pada Allah.
Dia hijrah, meninggalkan segala keburukan, lalu menggantinya dengan amal-amal
kebaikan. Dia bukan hanya sebatas bertobat, tetapi bahkan menginspirasi orang lain
untuk bertobat pada Allah. 
Setelah mendapatkan gambaran tersebut, kita hanya berusaha menjadi orang yang berserah diri pada Allah. Tidak boleh sedikit pun meletup rasa sombong dari hati kita. Karena semua apa yang kita capai bukan karena usaha dan daya kita, melainkan karena pertolongan Allah Swt. Ketika kita merasa itu sebagai pertolongan Allah, maka kita akan selalu bergelayut pada Allah, tanpa mau melepaskan sedikit pun.
Ketika kita bersandar atau berserah diri pada Allah, berarti kita mau berada
dalam pengaturan Allah. Sebaliknya, ketika lepas kebersandaran kita pada Allah,
berarti kita memilih hidup diatur oleh diri kita sendiri. Sadarilah, urusan
kita sangat banyak, sementara kemampuan kita sangat terbatas. Jika kita
mengurus sendiri seluruh urusan kita, tanpa melibatkan Allah sama sekali, maka
hidup kita akan mudah lelah, bahkan lumpuh. Sebaliknya, ketika kita bersandar
pada Allah, kita akan mendapatkan energi kekuatan yang berasal dari Allah,
sehingga kita terus diberi kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang kita
hadapi. 
Makin
kesini, meski telah dipenuhi berbagai kemudahan, manusia semakin terlihat
sibuk. Tentu saja, bukan hanya fisiknya yang terlihat sibuk, pikirannya sangat
sibuk dengan berbagai rencana dan keinginan yang terus membludak. Seolah tak
ada waktu untuk rehat. Bayangkan, masalah terus datang bertubi-tubi, tapi
kapasitas manusia makin menyusut. Jika Anda bergantung pada diri sendiri, maka
Anda diyakini akan mengalami tekanan yang besar, jatuh stress, bahkan kemudian
mengendap menjadi depresi yang sangat mengkhawatirkan.
Karena itu,
kita perlu berlatih untuk bisa menyerahkan urusan pada Allah. Tanpa dilatih
rasanya sulit kita menyerahkan urusan pada Allah. Seperti seorang bos yang
memiliki target yang luar biasa. Dia mengetahui dengan detail persoalan dari A
sampai Z. Dengan rencana besar tersebut, dia belum bisa mendelegasikan rencana
pada anak buahnya, karena dia tidak percaya dengan kemampuan mereka. Akhirnya,
dia lakukan semua sendirian. Apa yang terjadi? Tentu saja dia akan terus
diberondong rasa capek. 
Berbeda
halnya, kalau dia bisa mempercayakan dan mendelegasikan kerjanya pada orang
lain, maka tentu saja dia akan terasa ringan. Jika sudah meningkat pada cinta
pada Allah, maka Anda akan menyerahkan urusan Anda pada Allah. Dan Allah sesuai
dengan keyakinan Anda tentang-Nya. Kalau Anda punya keyakinan bahwa dia akan
menyelesaikan dengan tuntas persoalan yang Anda hadapi, maka Anda akan
mendapatkan pertolongan dari Allah untuk menyelesaikan masalah tersebut. 
Proses
Berserah Diri
Tentu saja
Anda tidak bisa langsung menjadi pribadi yang berserah diri. Anda harus
melewati level demi level untuk kemudian sampai pada maqam berserah diri pada
Allah. Pertama, ketika iman telah memasuki hati, yakni mendapatkan
pancaran cahaya islam, maka Anda akan menjadi orang yang mudah tawakkal pada
Allah, alias menyerahkan satu urusan kepada Allah. Bukankah tanda iman telah
memasuki hati manusia, dia akan terbawa untuk tawakkal pada Allah? Ketika
seseorang telah tawakkal pada Allah, maka kemustahilan akan bisa ditembus.
Bukankah ketika orang tawakkal, maka Allah akan mencukupinya?
Kedua, ketika
orang telah menggapai level mukmin. Jiwa ridha telah tumbuh dari hatinya, maka
dia menyerahkan seluruh urusan dunia dan akhirat pada Allah. Para ulama tasawuf
menyebutnya tafwidh. Ketika orang telah menyerahkan urusan dunia akhirat
pada Allah, maka dia telah merasakan aman. Tak lagi disusupi kekhawatiran
terkait masa depan. Tentu saja, dia telah berjalan sesuai dengan perintah Allah
Swt. Meskipun dia senantiasa berpegang teguh pada perintah Allah, dia sama
sekali tidak menggantungkan hidup pada usahanya. Kebergantungan total dia
arahkan pada Allah semata. 
Ketika hati
seseorang telah diliputi tafwidh, maka dia selalu berada dalam keadaan ridha
dalam setiap saat. Jiwanya selalu berada dalam kondisi plong, dan mengalir
dengan kenyataan yang sedang dialami. Tidak resisten atau berselisih sedikit
pun dengan segala ketetapan Allah, karena menyadari semua apa yang sedang dan
akan terjadi telah sempurna. Mengapa sempurna? Karena mengalir dari Yang Maha Sempurna.
Adakah yang perlu kita keluhkan dari perkara yang kita anggap sempurna? Tentu
saja, semuanya memuaskan. Bikin jiwa plong.  
Ketiga, menggapai
level muhsin. Dia telah mendapatkan kehidupannya diperkaya dengan rasa syukur. Sosok
ini tidak hanya menyerahkan satu urusan, atau menyerahkan semua urusan dunia
dan akhirat, tapi dia sudah sampai pada level menyerahkan dirinya pada Allah.
Karena dia sadar sebagai milik Allah. Hanya pemilik yang berhak mengatur dan
menetapkan keadaan dirinya. 
Dia tak
hanya melihat kenyataan itu meluncur dari Allah Yang Maha Sempurna lagi Maha Baik.
Dia telah berhasil melihat bahwa dibalik setiap kenyataan yang mendatanginya
adalah bentuk kehadiran Allah Swt. Dia tak lagi tertuju pada nikmat dan musibah
yang datang silih berganti. Juga tidak fokus pada sifat-sifat dari yang Zat
yang meluncurkan dua kenyataan tersebut. Perhatiannya tertuju pada Dia. Pada
kehadiran-Nya. Bukankah setiap pencinta hanya merindukan kehadiran yang
dicintai? Jika sepanjang dia memandang hanya sebagai kehadiran-Nya, maka tentu
saja kebahagiaan bahkan kepuasan senantiasa memenuhi relung hati kita.
Ketika
orang telah berserah diri, maka semua beban berat yang mencengkeram dirinya
akan terangkat. Jiwanya akan selalu berada dalam kondisi bahagia tanpa jeda.
Dia telah berada dalam keadaan hati yang senantiasa terhubung dengan Allah.
Sikap
berserah diri pada Allah bersumber dari cinta yang amat dalam pada-Nya. Seorang
istri, misalnya, mau menyerahkan diri pada sang suami karena didasari cinta
yang sangat dalam. Hanya perumpamaan, bahwa selagi Anda belum benar-benar
mencintai Allah, maka tentu berserah diri itu terasa sulit. Namun, ketika kau
telah mencintai-Nya tanpa syarat, berserah diri akan menjadi kenyataan. Dikala
orang telah sampai pada sikap ini, maka kepuasan batin akan memenuhi jiwa.  



.png)
.png)

0 comments