Manusia Tanpa Atribut
15 December 2025
Tak sedikit
orang yang berlomba, berkompetisi, bersaing, bahkan bertengkar hanya untuk
mendapatkan atribut. Atribut sebagai tanda kebanggaan yang mengisi jiwa. Tentu
ketika orang belum jadi apa-apa, kemudian tiba-tiba ada orang yang melontarkan
ejekan, mungkin dia tak merasa apa-apa, karena dirinya merasa tidak punya
harkat dan nilai sama sekali. Berbeda halnya, ketika orang telah bersematkan
label istimewa dari masyarakat, lantas mendapatkan perlakuan yang sama dari
orang lain, dicaci maki, misalnya. Jika dia bangga dengan atribut yang menempel
padanya, caci maki tersebut seolah telah mencopot atribut dirinya, meruntuhkan
kebesaran dirinya. Tentu saja dia akan menolak, melawan, dan membela diri.
Bagi orang
yang sudah merasa disemati atribut, maka kemana-mana dia harus bisa
mempertahankan atribut yang sudah menempel itu, syukur-syukur jika atribut tergerek
ke atas. Jika kemudian dia melekat dengan atribut tersebut, bahkan mendaku
atribut itu sebagai miliknya, maka atribut tersebut alih-alih membawa pada
kedamaian jiwa, justru jadi cikal-bakal menyemburnya penderitaan dari dalam
jiwa.
Jika
ditawari menjadi orang kaya atau orang yang kehidupannya cukup saja? Tentu
saja, kita akan langsung menyabet ingin jadi orang kaya. Kita sudah
membayangkan betapa enaknya jadi orang kaya. Kemudian disodori punya kedudukan
yang mentereng, prestisius, atau jadi orang biasa-biasa saja, tak ada orang
yang kenal? Tentu saja, tanpa banyak mikir, yang dipilih tentu jadi orang punya
kedudukan. Namanya tersiar dimana-mana.
Semua
atribut—bagi kebanyakan orang—menjadi pendongkrak kebahagiaan. Tentu berbeda
dengan orang yang orientasi hidupnya hanya Allah, maka dia akan berusaha
meninggalkan semua atribut. Membiarkan kehidupannya dipenuhi dengan Allah.
Mungkin saja dia berlimpah harta, tapi bukanlah obsesi yang memenuhi hatinya.
Kekayaan sama sekali tidak menghembuskan perasaan jadi orang besar, bahkan dia
merasa tidak punya apa-apa. Karena memang, segala apa yang tergenggam adalah
milik Allah.
Segala
atribut hanyalah seperti kemasan yang membalut manusia. Bukan hakikat manusia.
Belajar pada bawang merah. Ketika Anda mengupas sehelai demi sehelai dari
bawang merah, maka kita tak lagi menemukan apa-apa. Yang tersisa hanya air
mata. Kita menemukan kekosongan. Begitu juga, kalau kita mengupas diri kita helai
demi helai, mengupas segala apa yang kita banggakan. Ternyata semuanya pada
saatnya akan “mengelupas” dan lepas dari kita.
Sebagian kita mungkin ingat tentang kisah Ibrahim Al-Adham. Pada mulanya, beliau menjalani kehidupan sebagai pangeran. Dikelilingi oleh pelayan siap memenuhi setiap apa yang dibutuhkan. Tanpa harus diterpa kesulitan. Di suatu kesempatan, dia beranjak dari kursi kebesarannya. Beberapa saat dia melangkah, tiba-tiba ada orang asing berlari-lari kecil mendekati kursi kebesaran sang pangeran. Bahkan dia duduk dengan santainya. Tentu saja membuat keadaan ramai, seisi ruang menunjukkan muka gusar dengan kelakuan orang asing itu.
“Mengapa Anda semua
begitu terpukau dengan tempat singgah. Ini hanya tempat singgah”, sebuah
kalimat meluncur dari lisan orang asing itu. “Bagaimana kau menyebut sebagai
tempat singgah?”, tanya Ibrahim Al-Adham. “Iya, kau tentu tahu, sebelum Anda
menempati kursi ini, siapa sebelumnya yang menempati?”. “Yang menempati, ya
ayah saya”, tanggap Ibrahim Al-Adham. “Iya, sebelum ayahmu, ada kakekmu, atau
leluhur sebelumnya. Begitulah, maksud saya, ini hanya tempat bersinggah”,
pungkas orang asing itu.
Demi
mendengar fatwa teduh itu, timbullah pergolakan yang besar di hati Ibrahim Al-Adham.
Bahkan, bermula dari situlah, beliau meninggalkan kerajaan. Melepaskan semua
atribut kebesaran yang menempel padanya. Tanpa memberitahu siapa-siapa, dia
menyelinap, keluar dari kerajaan. Setibanya di jalanan yang sepi, dia bertemu
dengan pengembala kambing. Baju kebesaran yang dia kenakan ditukar dengan baju
yang melekat pada pengembala kambing. Dia menjalani hidup sebagai seorang
pencari Tuhan. Dia membagi-bagikan uang pada orang miskin yang ditemui
sepanjang jalan, hingga semua uang yang dibawanya habis.
Adalah seorang ibu bersama anaknya mendengar ada seorang dermawan yang membagi-bagikan uang. Maka, keduanya berusaha mencarinya. Mereka bertemu dengan Ibrahim Al-Adham. Mereka meminta uang pada sang pangeran. Tapi, di tangan sudah tidak ada apa-apa. Maka Ibrahim Al-Adham meminta pada ibu itu agar mengantarkannya pada orang terkaya yang ada di kota itu. Setibanya di rumah orang kaya, Ibrahim Al-Adham menjual dirinya. Sementara uangnya diserahkan pada ibu itu.
Ketika dia telah
menyadari tidak punya apa-apa, bahkan dirinya bukan miliknya, maka dia telah
meroket mencapai makam kewalian. Dia sudah mencapai ketiadaan diri. Hanya
menyadari bahwa yang ada hanya Allah. Keakuan sudah pupus darinya. Dikala
keakuan telah mengelupas, maka dia mencapai kedekatan dengan Allah. Tak lagi
menemukan dua aku. Dia hanya mengenal satu Aku, yakni Allah.
Bagi orang
yang sudah mengenal hakikat kebahagiaan, sekaligus bagaimana mencapainya, maka
orang akan selalu berpikir bagaimana menjadi orang biasa. Karena jadi orang
biasa akan menjadi orang yang bebas. Tak ada pujian menebarinya. Tidak ada
tepuk tangan yang didengar. Ada dan tidak adanya, sama saja bagi orang lain.
Tapi dari situ, dia telah memasuki relung kehidupan yang inti, menyadari
dirinya benar-benar sebagai hamba yang selalu butuh pada Allah. Tak bisa
terpisah darinya.
Dia merasa seperti terlempar pada kondisi jiwa yang merasa bodoh, sehingga terhubung dengan Yang Maha Tahu segalanya. Merasa sangat lemah, sehingga selalu terhubung dengan Yang Maha Kuat. Merasa sangat hina sehingga selalu tersambung dengan Yang Maha Mulia.
Disanalah dia akan merasakan sebagai hamba, dan sangat merasa terhormat, ketika Allah menjadikannya sebagai hamba-Nya, dan merasa bangga Allah sebagai Tuhan. Seolah hidup tak bisa terpisah dari Allah. Selalu bergantung pada Allah. Dia sudah sampai kondisi jiwa tak memiliki apa-apa. Yang tersisa adalah kesadaran sebagai yang dimiliki oleh Allah. Kesadaran ini akan menuntun seseorang selalu merasa ringan dalam menjalani hidup ini. Karena dia sadar bahwa pemilik akan selalu menjaga apa yang menjadi miliknya.




0 comments