Pernikahan: Latihan Seni Mencintai
02 December 2025
Adalah
seorang istri yang ngambek, tidak mau menyapa suami sedikit pun. Meski
dipicu oleh berbagai cara, tetap saja tidak mau ngomong. Seolah dia sudah bosan
hidup bersama. Perkataan seperti apapun yang meluncur dari lisan suami sama
sekali tidak mempengaruhi sikap si istri. Berbagai cara sudah ditempuh, suami
nyaris juga merasa bosan menjalani hidup yang begitu-begitu saja. Tanpa perubahan.
Mandek. Macet.
Di sisi
lain, istri menghendaki didengarkan, diperhatikan, dicintai, dan dimengerti.
Akan tetapi, suami tidak menangkap apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh
istri. Diam-diam, dia juga menyalahkan istri dengan segala sisi gelapnya.
Apakah dengan ditunjukkan kesalahan pasangan, otomatis pasangan menjadi sadar?
Alih-alih semakin disudutkan, dia makin berdiri kokoh menjaga pertahanan
dirinya. Bukan saling membuka, tetapi saling menutup satu sama lain.
Sampai kemudian melintas ide di batang otak suami. Apa itu? Selama ini dia merasa kurang bisa menyelami kemauan, kecondongan, dan kesukaan istri. Karena pikirannya—selama ini—sesak oleh upaya pemenuhan diri sendiri. Dia coba menyingkirkan seluruh kepentingan diri. Dia benar-benar memasuki semesta si istri. Dia tak menghendaki apa-apa berupa kepentingan diri.
Fokusnya adalah
bagaimana dia bisa memulihkan kebahagiaan di hati istri. Dia membaca buku
psikologi yang menggambarkan tentang kebutuhan wanita. Dari buku-buku yang
dibaca, dia mengambil kesimpulan bahwa wanita butuh dicintai, butuh dimengerti,
butuh dipahami, butuh disayang. Selalu memastikan diri harus hadir di setiap
masalah yang dihadapinya. Jangan sampai wanita merasa mengatasi sendiri masalah
yang dihadapi, tanpa disertai kehadiran suami di sampingnya.
Sang suami
membuka perbincangan dengan permintaan maaf. Karena selama ini salah dalam
memperlakukan, dan menyikapi istri. Minta maaf adalah cermin keberanian sang
suami. Dia merasa menjadi suami yang tidak becus. Hanya memikirkan dirinya
sendiri. Ketika suami benar-benar meminta maaf dengan tulus, hati istri pun
terbuka. Dia seolah bisa mengobati dahaga psikologis yang dialami selama ini.
Dia merasa
bahwa suaminya—yang selama ini—sangat jauh jiwanya, kini kembali lagi ke
pelukannya. Hadir untuk menerangi kehidupannya. Dia sudah tidak merasa dilempar
di pojokan sendirian. Jiwanya yang selama ini layu, nyaris mati, kini kembali
segar dan memiliki semangat lagi. Suami hadir sesuai dengan yang diharapkan.
Mungkin suaminya tetap sama. Tetapi sikap yang berbeda membuat ruang hati sang
istri pun berbeda. Lebih lapang, lebih luas, dan dipenuhi udara kasih sayang.
Tentu saja, suami tidak hanya berucap dengan perkataan gombal. Suami hadir dengan integritas dirinya. Dia benar-benar merealisasikan perkataan menjadi kenyataan. Dia mulai menyedikitkan perkataan di hadapan istri. Dia selalu menyediakan telinga untuk mendengarkan, membuka hati untuk memahami, dan menghidupkan pikiran bagaimana memenuhi harapan sang istri. Apakah ketika fokus suami hanya memenuhi harapan istri, lalu kebahagiaan menjadi redup? Sama sekali tidak. Bahkan semakin menyala terang. Karena begitulah cinta yang sesungguhnya.
Cinta
hadir untuk menerangi orang yang dicintai sehingga selalu dalam suasana
bahagia. Karena kebahagiaan kita makin terang dengan menyalakan kebahagiaan di
luar. Bahkan, seorang suami kudu berbahagia oleh karena telah disediakan ladang
untuk menumbuhkan kebahagiaan di relung jiwa.
Kadang juga, kita disuguhi kenyataan yang kontras. Bagaimana pertengkaran, sengkarut, dan bahkan berujung pada perceraian yang mengenaskan. Apakah perkara ini menandakan telah defisitnya cinta sejati dalam pernikahan? Banyak orang tidak benar-benar mencintai pasangan. Cinta hanya sebatas alibi untuk memenuhi hasrat dirinya. Ketika sedang menghendaki apa yang ada pada istri, maka laki-laki telah mengucapkan kalimat gombal untuk meyakinkan pada istri sebagai pasangannya.
Tapi setelah hasrat terpenuhi, cinta pelan-pelan surut dan
defisit. Selama ini orang berpikir mencintai adalah upaya eksploitasi pasangan
untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri. Bukan dijadikan jalan untuk
mengaktualisasikan cinta yang tertanam dalam diri. Padahal, kita tahu bahwa
ketika orang telah berhasil melepaskan potensinya secara maksimal, sampai pada
titik optimal, maka dia akan bisa mengakses kepuasan batin yang tak sanggup
digambarkan.
Perlu kita
kembali menyegarkan definisi tentang cinta, sehingga cinta benar-benar hadir
menjadi sumber kebahagiaan. Terutama kebahagiaan yang tumbuh dalam rumah
tangga.
Sekali
lagi, di beberapa tulisan terkait pernikahan, saya selalu tekankan tentang
takwa. Memahatkan persepsi—bahkan keyakinan—bahwa takwa menjadi landasan bahkan
kunci kebahagiaan dalam rumah tangga. Jika ada orang menikah tanpa takwa
seperti halnya orang diberi mobil tanpa disertai kunci. Bahkan mungkin dengan
mesin yang sudah nyaris rusak. Bukan malah enak menyampaikan pada tujuan,
justru akan terseret dalam kecelakaan. Kalau kita memasuki rumah pernikahan
pastikan kita punya berupa takwa. Jika tidak, pernikahan tidak hadirkan surga,
malah menjelma menjadi neraka.
Selagi
Bermakna
Cinta lagi
bermakna cinta adalah memuji, memberi, memaafkan dan berkorban. Kata-kata kunci
haruslah tarpatri dalam kesadaran siapapun yang ingin menjalin surga dalam
cintanya.
Pertama, memuji. Sholat sebagai ekpresi cinta seorang hamba pada Allah. Anda tahu bahwa dalam shalat itu Anda akan menemukan pujian pada Allah dilangitkan. Demikian, juga ketika Anda mencintai seseorang, maka belajarlah memuji atas kelebihan yang melekat padanya.
Mungkin sebelum menikah—masih masa ta’aruf—kita sering
menemukan keistimewaan yang tampak pada pasangan. Akan tetapi, setelah menikah,
kok tiba-tiba yang terlihat adalah keburukannya. Makin fokus pada
kekurangannya, justru berbalik menjadi orang yang sering menjadi kritikus pada
pasangan. Apa saja yang dilakukan pasangan, perkataan apa yang saja yang
meluncur pada pasangan selalu dilabeli salah dan kurang. Kita sudah tak lagi
bisa memuji pasangan. Padahal memuji pasangan adalah cara terus menyegarkan dan
menjaga hubungan.
Kedua, memberi.
Perlu Anda pahami cinta yang tercurah keluar bukan membuat keadaan kita makin
surut, tapi justru akan membuat kebahagiaan makin bertumbuh. Memberilah hingga
kau tak merasakan kekurangan. Berarti memberi justru akan membuat hatimu makin
berlimpah dengan kebahagiaan. Tak lagi disusupi perasaan kekurangan. Pasangan
sebagai ladang Anda untuk terus berbagi tanpa henti. Dorongan memberi yang
sangat kuat akan membuat hati mengembang dan meluas. Sebaliknya, jika dorongan
menuntut begitu kuat, maka justru hati akan menyempit. Andai pohon yang
dipupuk, maka dengan terus memberi rumah tangga akan terus bertumbuh menuju
kebahagiaan.
Ketiga,
memaafkan. Tentu kita sadar bahwa setiap orang bisa saja terpeleset dalam dalam
kesalahan. “Setiap anak Adam berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat
salah adalah bertobat”. Kita bisa saja terpeleset dalam melakukan kesalahan,
begitu juga pasangan. Kalau kita berbuat salah, kita berharap Allah dan sesama—yang
dizalimi—akan memaafkan kita. Begitu pun orang lain. Ketika dia berbuat salah,
maka kita harus menyediakan hati untuk memaafkan. Ketika kita menyiapkan jiwa
untuk memaafkan, maka tak lagi ada ruang kebencian apalagi dendam mendekam
dalam hati kita.
Memaafkan
memang lebih sulit dari memberi apa yang ada di tangan. Karena itu, memaafkan
mendapatkan pahala langsung dari Allah. Nilainya tak terbatas.
Keempat, berkorban. Hanya orang yang telah kehilangan ego di hadapan pasangan yang berani berkorban. Suami yang memiliki jiwa seperti ini akan selalu mengorbankan apapun saja asalkan istri selalu dalam keadaan bahagia. Melihat istri bahagia, maka dia akan senantiasa merasa bahagia. Begitu juga sebaliknya. Jika di tangan tak memegang uang, tak mengapa, asalkan istri punya uang untuk belanja sehari-hari.
Ketika orang telah berkoban, dia telah menyatu dengan yang dicintai. Dia bisa menyebut pasangan dengan sayang. Karena telah menyatu. Egonya telah lebur dalam diri orang yang dicintai. Orang yang telah luruh egonya, dia akan selalu bahagia. Bukankah penghalang terbesar seseorang untuk mengakses kebahagiaan adalah ego?




0 comments